Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Saya ingin mengajak kita memperhatikan firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 35 yang artinya, “Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim.” Ayat ini sebenarnya memberikan perspektif kepada kita bagaimana sesungguhnya manusia itu. Dalam diri kita ada potensi taqwa, potensi yang membuat kita baik. Tapi pada saat yang sama kita juga punya potensi untuk melakukan keburukan-keburukan. Di antara sifat buruk manusia itu adalah serakah, tamak, tidak pernah cukup, tidak pernah merasa puas. Inilah sesungguhnya yang dicontohkan oleh kakek manusia, Nabi Adam As.
Kita buat ilustrasi lain, kalau kita dihadapkan dengan dua meja hidangan makanan. Satu meja berisi berbagai macam jenis makanan, semuanya halal. Hanya saja di tengah ada satu mangkuk yang bertuliskan “terlarang,” bahwa itu hidangan yang haram. Yang lain halal, yang satu saja tak boleh. Meja yang satunya lagi semua isinya haram, hanya ada satu mangkuk yang dibenarkan, yang dihalalkan. Kira-kira kita memilih meja yang mana? Mana meja yang kita punya pilihan-pilihan paling gampang? Tentu kita akan pilih meja yang pertama karena lebih banyak halalnya. Lebih banyak yang boleh dinikmati, karena yang tak boleh hanya satu saja. Daripada meja yang kedua, isinya semua haram, yang boleh hanya satu mangkuk saja.
Tapi dalam faktanya Nabi Adam mencontohkan yang berbeda. Kendati Allah katakan nikmati semua yang ada, yang tak boleh hanya engkau mendekati pohon ini, ternyata Nabi Adam pun gagal mengendalikan dorongan hawa nafsunya sehingga dia mendekati pohon itu. Jadilah Adam jatuh, dia pun turun dari surga ke bumi. Itulah sesungguhnya diri manusia yang tidak bisa kita hindari. Ada potensi serakah, ada potensi tamak dalam diri kita yang tidak pernah puas dengan apa yang kita punya.
Dan itu yang berulang-ulang kali digambarkan Al-Qur’an. At-Takatsur, manusia berlomba-lomba untuk mengumpulkan hartanya, mengejar jabatan. Kapan manusia berhenti? Sampai dia nanti masuk ke liang kubur. Itu satu surat yang menggambarkan manusia yang tidak pernah puas. Surat yang lain, Al-Humazah, ada manusia yang mengumpul-ngumpulkan harta. Setiap hari dia menghitung apa yang dia dapat, dia menyangka hartanya itu akan mengekalkannya. Dua surat yang menggambarkan manusia yang serakah itu.
Contoh yang ketiga, perhatikan dalam Al-Qur’an, apa bedanya Allah menjelaskan makanan yang halal dengan yang haram? Kalau yang haram itu Allah jelaskan satu persatu, diharamkan kepadamu bangkai, darah, daging babi, segala binatang yang disembelih tidak menyebut nama Allah. Yang haram itu disebut satu persatu oleh Al-Qur’an. Kenapa? Karena jumlahnya sedikit. Tapi ketika Allah bicara yang halal, itu tidak disebut satu persatu. Makanlah olehmu apa yang ada di bumi, yang halal lagi baik. Kenapa tidak disebut yang halal itu apa saja? Karena yang halal itu banyak sekali, tidak mungkin Al-Qur’an menyebutnya satu persatu. Tapi dalam faktanya yang haram yang sedikit itu pun, itulah yang selalu dicari dan dikejar oleh manusia.
Karakter manusia yang serakah inilah, yang tidak pernah puas inilah, yang sesungguhnya ingin dididik, ingin ditarbiyah oleh puasa Ramadan. Makanya ketika kita memasuki Ramadan, kita ibaratnya orang yang sedang disiapkan masuk ke sebuah madrasah, sebuah sekolah, madrasatunnafs, madrasah jiwa. Kita sedang diajak oleh Allah kembali melihat diri kita, mempelajari diri kita. Karena di dalam puasa Ramadan itu kita sesungguhnya sedang diajari oleh Allah bagaimana mengendalikan diri.
Maka sesungguhnya puasa tidak sebatas hanya menahan lapar, menahan dahaga pada siang hari Ramadan. Karena itu sesungguhnya manusia gampang melakukannya. Tapi di balik makan dan minum itu, sebenarnya ada yang lebih besar lagi. Yaitu manusia dituntut untuk mengembalikan dirinya sebagai makhluk rohani, makhluk yang berasal dari Allah, bukan makhluk fisik. Fisik inilah sesungguhnya yang mendorong kita untuk tidak pernah puas dengan apa yang kita punya. Fisik inilah sesungguhnya yang mendorong kita untuk tidak pernah merasa cukup dengan kenikmatan-kenikmatan yang kita peroleh sehingga kita tidak pernah mengenal titik henti.
Tapi manakala kita kembali pada otentisitas kita sebagai manusia, makhluk rohani, kepuasan makhluk rohani bukan pada pemenuhan makan, dan minum. Kepuasan rohani itu terjadi manakala orang bisa menghubungkan jiwanya dengan Allah. Manakala orang bisa berkomunikasi dengan Allah. Manakala orang bisa beribadah kepada Allah sehingga dia merasakan kedekatan dengan Allah Swt. Pada saat kita dekat dengan Allah, maka Allah akan mengawasi kita. Pada titik itulah kita menjadi orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu kita.
Mari kita sambut Ramadan ini dengan penuh suka cita, membangun komitmen dalam diri untuk menjadikan Ramadan sebagai tarbiyatunnafs. Mendidik kita kembali menjadi manusia yang otentik, menjadi manusia rohani, bukan manusia fisik semata. Tapi manusia rohani yang kenikmatannya adalah pada saat dia bisa dekat dengan Allah Swt. mudah-mudahan dapat menjadi renungan untuk kita.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.