Kebaikan dan kemaksiatan bertemu dalam satu irisan, sama-sama menghajatkan pendanaan.
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah: 195)
Sebuah kemaksiatan bisa berkembang dan menjadi besar jika didukung para pemodal dan sponsor yang kuat. Lihat saja promosi ajaran Islam Liberal begitu massif karena didanai lembaga asing Asia Foundation. Padahal, sebesar apapun dana yang dikeluarkan untuk jalan kebatilan takkan bernilai di akhirat nanti.
Kaidah yang sama juga berlaku dalam kebaikan. Segala upaya yang dilakukan umat Islam untuk menegakkan agama, baik lewat dakwah dan jihad, tidak akan berjalan kecuali dengan pendanaan. Meski itu sudah menjadi semacam aksioma, umat Islam hari ini ternyata masih terlalu cinta harta dan ragu mengalokasikan kekayaan demi kepentingan agama.
Lewat ayat di atas, Allah menitahkan untuk berinfak di jalan-Nya. Perintah ini sangat relevan jika disampaikan kembali hari ini. Di mana musuh-musuh Islam, mulai dari Syi’ah, komunis hingga Blok Barat bersatu menyerang Islam.
Asbabun Nuzul
Banyak orang salah persepsi tentang kebinasaan dalam ayat di atas. Karena itu, perlu kiranya memahami asbanun nuzul atau sebab turunnya ayat untuk menyingkap hakikat kebinasaan yang sesungguhnya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengutip dari Aslam bin Abi Imran yang meriwayatkan bahwa salah satu sahabat muhajirin berperang di Kostantinopel. Sahabat yang tak disebut namanya itu, menyerang barisan musuh tanpa mempedulikan keselamatan dirinya. Barisan musuh pun jadi hancur lebur.
Kejadian itu membuat banyak orang berkomentar, “orang itu menjerumuskan dirinya dalam kebinasaan.”
Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari yang turut dalam pertempuran itu lantas meluruskan. “Kami lebih paham tentang ayat ini. Ia turun terkait dengan kami. Kami adalah sahabat Rasulullah SAW dan telah membela beliau dalam beberapa peperangan. Ketika Islam tersebar dan menang, kami kaum Anshar bersuka cita. Lalu kami berucap bahwa sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan menjadi sahabat Nabi SAW dan membela beliau sehingga Islam tersebar luas dan pemeluknya semakin banyak. Kita telah mengutamakan beliau atas keluarga, harta, dan anak-anak. Peperangan pun kini telah usai, maka sebaiknya kita kembali kepada keluarga dan anak-anak kita, dan tinggal bersama mereka.”
Karenanya, turunlah ayat tersebut. Sesungguhnya kebinasaan terletak pada keputusan kami tinggal bersama keluarga dan mengurus harta serta meninggalkan jihad.” (HR. Abu Dawud)
Tafsir
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi berkata, “Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kaum Mukminin agar menginfakkan harta mereka di jalan jihad dengan menyiapkan perbekalan, memudahkan perjalanan para pejuang serta melarang mereka untuk meninggalkan infak di jalan Allah -yang tidak lain adalah jihad- sebab bilamana mereka meninggalkan infak dan jihad, itu sama dengan orang yang menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan. Hal ini dikarenakan, bila musuh yang selalu mengintai melihat mereka tidak lagi berjihad, maka mereka akan menyerang dan memerangi mereka bahkan bisa mengalahkan mereka sehingga karenanya mereka akan binasa.” (Aysar at-Tafaasiir, al-Jazaa’iri).
Syaikh Nashir as-Sa’dy berkata, “Yang paling agung dan hal pertama yang termasuk kategori itu adalah infak dalam jihad fi sabilillah. Sesungguhnya, berinfak merupakan jihad dengan harta yang wajib, sama seperti jihad dengan badan. Infak tersebut banyak sekali mashlahatnya seperti membantu dalam memperkuat barisan kaum Muslimin, melemahkan syirik dan para pelakunya, mendirikan dienullah dan memperkuatnya.
Jadi, jihad fi sabilillah tidak akan terealisasi kecuali dengan adanya infak sebab infak ibarat ruh (nyawa) baginya, yang tidak mungkin ada tanpanya. Dengan tidak berinfak di jalan Allah, itu artinya membatalkan jihad, memperkuat musuh dan menjadikan persekongkolan mereka semakin menjadi. Dengan begitu, firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” menjadi seperti alasan atas hal itu. “Menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan” (teks arabnya, al-Ilqaa’ bi al-Yad). (Taysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fi Tafsiir Kalaam al-Mannaan karya Syaikh Naashir as-Sa’idi berkenaan dengan ayat tersebut)
Setelah memaparkan beberapa hadits terkait dengan ayat di atas, termasuk hadits Abu Ayyub, Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Abu Ayyub menginformasikan kepada kita bahwa menjerumuskan diri sendiri ke dalam kebinasaan itu adalah dengan meninggalkan jihad di jalan Allah SWT dan ayat tersebut turun mengenai hal itu.” al-Qurthubi juga menyebutkan makna lainnya dengan berpijak pada beberapa hadits tertentu mengenai ayat tersebut di antaranya; berdiam mengurusi dan memperbaiki harta, takut menjadi beban orang lain, tidak bersedekah dan berinfak untuk orang-orang yang lemah, berbuat dosa, berinfak di jalan yang haram dan lainnya. (Tafsir al-Qurthubi)
Kesimpulan dari makna ayat ini ialah perintah mengalokasikan harta di jalan Allah dan semua jalan ketaatan kepada-Nya. Khususnya membelanjakan harta untuk memerangi musuh, kemudian mengalokasikannya untuk sarana dan bekal yang memperkuat kaum muslim dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Melalui ayat ini Allah memberitakan kepada mereka bahwa jika hal ini ditinggalkan, maka akan berakibat kepada kehancuran dan kebinasaan bagi orang yang tidak mau membelanjakan hartanya untuk tujuan tersebut. Kemudian disambung pada perintah untuk berbuat baik, yang mana ini merupakan amal ketaatan yang paling tinggi. (Tafsir Ibnu Katsir)
Jihad tidak akan terlaksaa tanpa harta. Kewajiban jihadpun akan gugur jika tidak ada dana. Bahkan orang orang kaya yang menahan hartanya untuk jihad sama dengan sedang berusaha untuk menghancurkan dirinya sediri dan juga Islam ini. Sifat ini merupakan indikasi penyakit nifaq. Maka mari kita beli jannah dengan harta kita agar tidak termasuk di antara orang orang yang menjerumuskan dirinya dalam kebiasaan.