Dr. Syukri Albani, Lc. MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Jama’ah Dzuhur yang dirahmati Allah Swt.
Hakikatnya kefitrahan anak itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawab orang tuanya. Di dalam hadits Rasulullah Saw. menegaskan yang artinya, “Setiap anak yang lahir itu dilahirkan dengan fitrah. Dan orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Hadits ini memiliki hubungan yang erat karena terkadang rasa penting kita terhadap anak selalu nilainya sangat materialistik. Terkadang kita hanya fokus melihat anak pada hal-hal yang duniawi. Fokus pada perkembangan pendidikannya, pekerjaannya, karirnya. Tapi kita abai terhadap amal ibadahnya, ketaatannya kepada Allah Swt.
Anak yang belum baligh itu aspek psikomotoriknya sangat tinggi, aspek menirunya sangat tinggi. Maka ketika kita selalu memberikan ucapan-ucapan yang kasar, perilaku-perilaku yang jahat, atau mungkin menunjukkan keingkaran-keingkaran kita kepada Allah. Sebagai kakak maupun orang tua, maka inilah maksud atau tamsil dari apa yang sudah disebutkan di dalam hadits tadi. Bahwa ayahnya (keluarganya) yang menyebabkan seorang anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Ini adalah tamsil.
Kadang-kadang setelah anak dewasa kita sering menyalahkan anak, mengapa perilakunya jahat, mengapa ingkar, mengapa tidak taat. Kita lupa bahwa sejak kecil kita sering memberi contoh yang kurang baik kepada anak-anak kita. Oleh karenanya tanggung jawab yang tinggi, apalagi berkaitan dengan shalat, sejak dini penting kita ajarkan kepada anak-anak kita. Karena shalat adalah tiang agama, siapa yang mengerjakannya artinya ia sedang menegakkan agamanya, dan siapa yang meninggalkannya maka artinya ia sedang menghancurkan agamanya. Ketika orang tua mendambakan baiti jannati, maka filosofi baiti jannati itu di dalam rumah tersebut semua orang harus shalat.
Melatih shalat kepada anak sejak kecil itu akan memberi pemahaman yang utuh bawa perintah Allah itu absolut dan berdosalah jika kita ingkar kepada Allah. Maka anehlah jika kita mewajibkan shalat kepada anak saat ia dewasa, sementara saat kecilnya kita tidak memahamkannya akan shalat itu. Bahkan lebih parah lagi, kita tidak pernah mencontohkan mengerjakan shalat di depan anak kita. Ini juga berlaku pada ibadah-ibadah yang lainnya. Dampaknya tentu anak akan kehilangan contoh dan tauladan. Ini menjadi pendidikan yang tidak baik.
Ketika berpuasa misalnya, anak sekuat tenaga menahan lapar dan haus agar puasanya tidak batal, namun ia melihat ibunya makan di depan matanya. Dan ketika anak bertanya kepada ibunya, “Kenapa ibu makan?” ibunya menjawab, “Ini bukan urusan anak-anak, ini urusan orang dewasa.” Tentu ini akan menghancurkan keyakinannya akan sakralnya ibadah puasa itu. Khawatirnya ini akan menjadi pemahaman baginya bahwa ketika dewasa dia boleh meninggalkan puasa seenaknya. Dan ia akan terbiasa untuk berbuat dosa, ingkar kepada Allah. Maka inilah pentingnya mendidik anak, agar pemahamannya terbentuk dan kokoh dari ia kecil.
Mengajarkan shalat kepada anak juga dapat melatih daya psikomotoriknya. Mengajarkan gerakn-gerakan shalat, maknanya, bacaan-bacaannya. Termasuk apa yang boleh dikerjakan dalam shalat dan apa yang tidak boleh dikerjakan dalam shalat. Nanti ketika ia diajarkan di sekolahnya tentang shalat, ia akan lebih paham dan mengerti tentang makna dari apa yang selama ini ia kerjakan.
Kita juga harus memposisikan diri kita sebagai orang tua, abang, atau kakak, yang nyinyir terhadap shalat. Nyinyir dalam arti peduli. Kita tidak menjadikan shalat itu sebagai amalan privat yang menganggap kalau anak sudah dewasa maka dosanya ia tanggung sendiri. Di dalam ilmu dakwah diketahui bahwa dakwah itu tidak mengenal umur, tempat, dan objek. Artinya kebenaran dan kebaikan itu harus kita dakwahkan, kita sampaikan kepada siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Apalagi kepada anak. Tidak boleh orang tua letih menasihati anak tentang shalat. Karena shalat merupakan prinsip paling dasar tentang keislaman seseorang.
Lalu terkait tujuan shalat, selalu saja kita sebutkan agar terhindar dari perbuatan fahsya’ atau zalim terhadap sesama makhluk dan juga munkar atau perbuatan ingkar kepada Allah. Kita juga selalu menghubungkan bahwa banyak orang yang shalat tapi tetap berlaku zalim. Kenapa shalat belum memberi efek positif bagi pelakunya. Jawabannya sederhana, karena kita belum menjadikan shalat sebagai hal yang sangat penting dalam diri kita. dalam Al-Qur’an Allah mengatakan bahwa celakalah bagi orang yang shalat, yang dalam shalatnya ada kelalaian, apalagi kelalaian itu direncanakan.
Oleh karenanya harapan kita kepada anak-anak kita mudah-mudahan anak-anak kita tidak terhijab dari kebenaran. Artinya tidak ada dalam hidupnya prinsip untuk meninggalkan kebenaran itu. Semoga anak-anak kita tidak menjadi orang yang senang pada dosa, kalau meninggalkan shalat justru ia bahagia. Semoga anak-anak kita tidak menjadi orang yang menggemari kesia-siaan, termasuk sia-sia atas waktu, umur, kesempatan, kesehatan, dan segala macam lainnya. Semoga anak-anak kita bukan orang yang tidak sensitif atas manfaat waktu. Terakhir, semoga anak-anak kita tetap percaya bahwa di atas kepentingan dunia ini anak-anak kita meyakini perintah Allah adalah sesuatu yang Maha penting dari hal-hal yang sifatnya duniawi. Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.