Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Di dalam sebuah hadits Nabi Saw bersabda yang artinya, “Shalat itu tiang agama, siapa yang mendirikannya berarti dia menegakkan agama, siapa yang meninggalkannya, mengabaikannya, maka sesungguhnya dia menghancurkan agama.” Paling tidak shalat disebut tiang agama didasarkan pada dua hal, yang pertama selalu saja para ulama mengibaratkan Islam itu sebagai sebuah bangunan. Sebuah bangunan membutuhkan asas, membutuhkan dasar, itulah yang disebut dengan syahadat. Asyhadu anlaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadarrasuulullaah, itu adalah pondasinya agama.
Pondasi yang kuat akan sangat ditentukan tauhid yang kuat. Pada saat orang mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah, dia orientasikan hidupnya hanya untuk Allah. Dia merasa diawasi oleh Allah, dia merasa dilihat oleh Allah, dia merasa dipantau oleh Allah, dan segala yang dia kerjakan untuk Allah. Maka pada saat itu dia memiliki tauhid atau asas yang kuat. Kalau kita sederhanakan, hidup kita ini berkisar pada tiga hal, yang pertama adalah Bismillah, mengawali segala aktifitas dengan menyebut nama Allah. Yang kedua, Ma’allah, kebersamaan bersama Allah, kita merasa kita tidak sendiri dalam hidup ini, kita merasa tidak sendiri melakukan apapun. Tapi ada Allah yang menyertai kita, ada Allah yang membimbing kita, ada Allah yang mengawasi kita, itu namanya Ma’allah. Dan untuk apa semuanya itu? Itu Lillah.
Jadi, Bismillah, Ma’allah, dan Lillah. Semua yang kita lakukan hanya untuk Allah, inilah yang menjadi asas. Di atas asas tegaklah shalat, maka shalat itu disebut tiang agama. Dindingnya itu disebut dengan Ash-Shaum, puasa, dia menjadi perisai. Pintu, jendelanya, lubang anginnya itu diibaratkan dengan zakat, karena dia membersihkan. Lalu payungnya itu, atapnya itu disebut dengan Al-Hajj atau haji. Jadi, shalat itu menjadi tiang agama untuk memastikan agama itu tegak.
Apa yang membedakan kita dengan umat lainnya bisa dilihat secara kasat mata. Sebenarnya itu hanya dilihat dari shalat. Maka shalat jamaah itu kerap kali menggetarkan orang-orang, karena mereka melihat di dalam shalat jamaah itu ada isyarat kebersamaan, ada isyarat persaudaraan, ada isyarat persatuan. Ini jawaban pertama mengapa shalat itu disebut tiang agama, karena agama ini diibaratkan sebagai sebuah bangunan. Manakala umatnya tidak menegakkan shalat, pada titik itulah agama akan mengalami kerapuhan.
Maka benar seorang ulama yang bernama Raghib As-Sirjani menulis dalam salah satu bukunya Misteri Shalat Subuh, para zionis Israel, orang Yahudi kalau ingin menghancurkan sebuah kampung, bangsa, masyarakat, maka yang dia lihat adalah bagaimana masjidnya di kala Subuh. Pada saat masjidnya itu ramai, bahkan ramainya seperti orang melaksanakan shalat Jum’at. Maka kampung itu persaudaraannya kuat, persatuannya kuat, dan kampung itu tidak mudah untuk dipecah belah. Karena mereka punya imam, punya gerak yang sama, dan punya visi yang sama pula dalam rangka membesarkan agama Allah.
Jawaban yang kedua, dikatakan shalat itu adalah tiang agama karena shalat itulah yang akan tegak di dalam diri kita. Makanya di dalam Al-Qur’an perintah shalat tidak diungkap dengan kata ‘Amila, tidak diungkap dengan kata Fa’ala, mengerjakan atau melakukan. Tapi diungkap dengan kata Qooma, Iqooma, yang maknanya mendirikan. Mendirikan shalat itu tidak sama artinya dengan mengerjakan shalat. Orang yang mengerjakan shalat bisa saja di satu waktu dia kerjakan shalat, di waktu yang lain dia tidak kerjakan. Tapi kalau disebut mendirikan, tegakkan shalat, maka itu artinya shalat itu sesuatu yang telah menyatu dalam dirinya. Shalat itu menjadi kebutuhan intrinsik dalam dirinya, shalat bukan terpisah dari dirinya.
Maka di dalam shalat, sebagaimana yang sudah kita kaji beberapa pertemuan yang lalu, dia sebenarnya menyerap energi Allah. Makanya kita sampaikan pada saat itu, manakala azan berkumandang, Hayya alash-sholaah, jawabannya adalah Laa hawlaa walaa quwwata illaa billaah. Kita tidak akan bisa menegakkan shalat itu tanpa bantuan energi Allah. Makanya setiap muslim, manakala dia shalat, dia sebenarnya menyerap energi Allah. Dirinya yang tidak ada kekuatan dan daya itu diberikan Allah kekuatan baru, diberikan Allah daya baru. Sehingga dengan daya itulah dia bisa melanjutkan tugas-tugas kekhalifahannya.
Sebagai simpul kaji, hidup kita ini sesungguhnya berputar pada dua fungsi utama, sebagai Abdun dan sebagai Khalifah. Ibadah dalam arti maghdhah yang kita kerjakan, shalat, itu adalah menyerap energi Allah, menyerap kekuatan dari Allah. Lalu kekuatan itulah yang kita gunakan untuk memakmurkan bumi ini, untuk berkontribusi buat bangsa ini, untuk memberikan sumbangsih kita pada agama ini. Sekecil apapun peran yang kita lakukan.
Oleh karenanya setiap orang pada satu sisi dia sebagai hamba, yang dia tunduk dan patuh pada Allah. Pada sisi lain dia sebagai khalifah yang berkontribusi untuk kebaikan agama dan bangsanya. Mudah-mudahan kedua fungsi ini selalu melekat pada diri kita, dan shalat itu benar-benar menjadi sarana kita memperoleh energi dari Allah yang selanjutnya kita pakai untuk kemanusiaan, menopang tugas-tugas kita. demikian, mudah-mudahan ada manfaatnya.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.