Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA.
11 April 2019
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Ayat yang kita hapal dan sering kita dengar adalah yang menyatakan bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Para mufassir mengatakan yang dimaksud dengan Al-Fahsya’ itu adalah keburukan yang bersumber dari kalbu. Dengki, sombong, angkuh, takabbur, itu yang disebut dengan fahsya’. Sedangkan Al-Munkar itu adalah kejahatan-kejahatan Al-Jawaarih, indera, tangan, kaki, kemunkaran-kemunkaran yang ditimbulkan oleh fisik kita. Dengan demikian kita bisa berkata bahwa shalat itu punya kekuatan untuk membentengi orang, atau mencegah seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan salah. Baik yang bersifat batin ataupun yang bersifat fisik.
Pertanyaannya adalah bagaimana shalat itu bisa membentuk akhlak? Bagaimana shalat itu bisa mengendalikan orang sehingga memiliki perilaku yang mulia? Saya ingin mengajak kita mencermati kisah seorang sufi yang bernama Salim. Dia disebut ahli ibadah, tawadhu’, dan orang banyak mengatakan shalatnya khusyu’. Tetapi kelebihan Salim, dia tidak pernah berhenti untuk belajar. Pada suatu saat dia menghadiri majlis ilmu Abdarrahman, seorang sufi senior. Yang dia memanggilnya dengan Aba Abdarrahman. Lalu dia bertanya, “Tuan, bagaimana tuan melaksanakan shalat?” Pertanyaan yang menurut kita amat sangat sederhana. Bayangkan seorang sufi bertanya kepada sufi yang lain, seorang ahli ibadah bertanya kepada ahli ibadah yang lain.
Lalu Aba Abdarrahman menjawab, “Ketika saya mengetahui waktu shalat hendak masuk, maka saya bersiap-siap untuk wudhu’, saya melakukan wudhu’ lahir dan wudhu’ batin.” Muncul pertanyaan pada diri Salim, “Apa yang tuan maksud dengan wudhu’ lahir dan wudhu’ batin?” Dijawab, “wudhu’ lahir itu adalah membasuh anggota-anggota wudhu’. Wudhu’ batin adalah manakala kita senantiasa bertaubat kepada Allah.” Kita membersihkan kalbu kita dari segala macam prasangka-prasangka buruk. Kita menghindarkan kemewahan-kemewahan dunia. Kita menghindarkan segala macam hal-hal yang membuat kita lalai dari Allah. Itu yang dipahami dari wudhu’ batin.
Dalam versi yang lain wudhu’ batin itu adalah makna terdalam ketika kita membasuh anggota wudhu’. Ketika orang membasuh tangannya, bahwa dia membasuh dengan air, itu adalah tindakan lahiriyah. Tapi ketika dia beri’tikad dalam hatinya, berkomitmen dalam hatinya. Bahwa tangannya tidak pernah menyakiti orang lain, tangannya tidak pernah dia pakai untuk mengambil harta milik orang lain, itu sebenarnya bagian dari wudhu’ batin. Ketika dia berkumur-kumur, yang dia rasakan ketika berkumur-kumur itu adalah bagaimana dia memastikan bibirnya tidak pernah menyayat-nyayat hati orang lain. Begitu juga ketika dia membasuh wajah, tangan, kaki, semuanya memiliki makna.
Oleh karena itu, mulai dari wudhu’ saja kita sebenarnya harus berada dalam satu kondisi bathiniyah yang dimana kita sadar bahwa kita segera akan berhadapan dengan Allah. Oleh karena itu kalau kita baca kitab-kitab sufi, ketika dia mengambil wudhu’ saja dia sudah menggemetar. Seorang Imam Ja’far Ash-Shadiq, pada saat mengambil wudhu’ kawannya terkejut dan mengatakan, “mengapa engkau terkesan gemetar? Apakah engkau sakit? Mengapa wajahmu pucat?” Imam Ja’far mengatakan, “saya tidak sakit, tapi saya merasakan bahwa suasana bathin saya ini bergejolak, karena sebentar lagi saya akan berhadapan dengan Khaliq, dengan Allah.”
Pertanyaannya adalah bagaimana perilaku wudhu’ kita? tidak jarang ada banyak di antara kita, ketika dia berwudhu’ dia masih sempat bercengkrama dengan teman-temannya. Dia masih sempat berbincang-bincang dengan kawannya, padahal dia sedang membasuh anggota wudhu’nya. Mestinya mulai dari wudhu’ saja kita sadar kita melakukan apa pada saat wudhu’ itu.Abdarrahman melanjutkan, “setelah itu saya berdiri untuk melaksanakan shalat. Ketika saya berdiri melaksanakan shalat, saya merasakan Allah menatap saya. Ketika saya hendak mengangkat takbir, saya merasakan Allah menatap saya. Dan di belakang saya juga merasakan malaikat Izra’il yang seolah-olah bersiap mencabut nyawa saya.” Lalu dia berkata, “Ketika hendak shalat itu saya merasakan seolah-olah inilah shalat terakhir yang bisa saya lakukan.”
Shalat yang kita kerjakan ini sebenarnya bukan perbuatan sederhana, bukan perbuatan gerakan fisik. Tapi shalat itu adalah media orang berkomunikasi dengan Allah. Yang kita hadapi itu adalah Khaliq, Sang Pencipta alam semesta. Seberapa kuat kita menunjukkan kehebatan diri pada saat kita shalat? Na’udzubillaah. Ketika dia shalat, dia sadar betul dia sedang menyembah siapa, dia sadar betul ini adalah kesempatan yang diberikan Allah padanya untuk sujud. Dan kalau itu adalah shalatnya yang terakhir, kesempatan apalagi yang dia punya untuk memperbaiki dirinya?
Demikianlah sufi itu menjelaskan, yang kalau kita simpulkan, setiap gerakan-gerakan shalat yang dia kerjakan, itu semuanya dilakukan dengan kesadaran penuh. Jadi, tidak benar kalau ada orang mengatakan khusyu’ itu tidak sadar, tidak tahu apa-apa. Dia tahu betul kalau dia angkat takbir, baca Al-Fatihah, dia sadar betul kalau dia rukuk sujud dan seterusnya. Kalau orang sadar dia shalat berhadapan dengan siapa, kesadaran inilah nanti yang akan membuahkan akhlak perilaku-perilaku terpuji. Begitu kita berkata Allaahu Akbar, Yang Maha Besar, kita ini hamba yang kecil, kita tak punya daya, tak punya kekuatan, apakah kita masih sanggup menyombongkan diri di hadapan Allah?
Ketika kita berkata di dalam do’a iftitah, apakah kita tidak malu kepada Allah kalau dalam hidup ini ada tujuan-tujuan lain selain Allah Swt? begitu orang duduk di antara dua sujud, sambil memelas dia berkata, “Ya Rabb, ampuni aku. Sayangi aku.” Dan seterusnya, ada tujuh atau delapan permintaan yang kita semua menyebutnya dengan suara yang lirih. Inilah yang akan melahirkan akhlak-akhlak yang mulia, yang buahnya adalah orang yang shalat tidak ada kesombongan dalam dirinya, karena dia sadar betul betapa dirinya tidak bermakna di hadapan Allah Swt.
Orang yang shalat itu bagaimanapun dia akan memiliki disiplin tinggi, karena semuanya ada aturan-aturan yang harus dia ikuti. Orang yang shalat, dia akan memiliki kesabaran. Makanya dilarang shalat tergesa-gesa, orang mengejar shalat tergesa-gesa pun dilarang oleh Nabi dalam sebuah hadits shahih. Kita diminta untuk tetap berjalan dan tidak boleh tergesa-gesa. Gerakan-gerakan shalat itu adalah gerakan yang dirasakan menyatu dalam diri kita. kenapa perintah shalat itu “qama?” karena shalat itu harus tegak dalam diri. Maknanya adalah dia sudah menyatu dalam diri kita. Gerakan shalat bukan yang terpisah dari diri kita, tapi menyatu dalam diri kita. penuh penghayatan.
Pada akhirnya ketika kita membesarkan Allah dalam shalat kita, mensucikan Allah, maka shalat itu ditutup dengan salam. Ini yang harus jadi kesadaran batin setiap muslim, salam yang walaupun kita shalat sendirian, tidak ada orang disekitar kita, tetap saja mengatakan “Assalaamu’alaykum warahmatullaah.” Maknanya adalah orang yang shalat, perbuatan yang lahir dari dirinya adalah perbuatan-perbuatan yang menyelamatkan orang lain, mendamaikan orang lain.
Keluar dari masjid ini, di jalan kita menemukan batu, orang yang shalat akan mengambil batu itu. dia tidak akan biarkan batu itu di jalan karena akan mencelakai orang lain. Begitu dia ke kamar mandi, dia lihat ada sampah yang berserak, dia tidak tunggu petugas kebersihan, dia akan bersihkan itu sendiri. Itulah sebenarnya buah shalat, yang kita memberikan salam, kedamaian, keselamatan, bagi orang-orang yang di sekitar kita. Pada akhirnya kalau semua orang shalat, maka dia tidak pernah khawatir mobilnya akan rusak, sepeda motornya akan hilang, tasnya akan hilang. Tidak ada kekhawatiran, karena misi orang yang shalat adalah melahirkan kedamaian, keselamatan, ketenteraman bagi orang-orang di sekitarnya.
Mudah-mudahan ini dapat menjadi renungan kita semua. Senantiasa kita terus meningkatkan kualitas shalat kita.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.