Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Ada pertanyaan yang menarik untuk kita renungkan setiap kali kita mendengarkan azan, panggilan untuk sholat. Jawaban kita sebagai orang yang mendengarkan azan, mengulang kalimat azan itu sendiri. Ketika muazzin berkata Allaahu Akbar-Allaahu Akbar, kita menjawab Allaahu Akbar-Allaahu Akbar. Ketika muazzin berkata Asyhadu Anlaa ilaaha illallaah, kita berkata Asyhadu Anlaa ilaaha illallaah. Tetapi ketika muazzin mengatakan Hayya alash-sholaah, jawaban kita bukan Hayya alash-sholaah. Tapi kita menjawab Laa hawlaa walaa quwwataa illaa billaah. Hayya alal-falaah, kita juga menjawab Laa hawlaa walaa quwwataa illaa billaah.
Ini menjadi menarik, mengapa pada saat Allaahu Akbar atau Syahadatain kita mengulang kalimat itu. Tapi ketika ajakan untuk sholat kita menjawabnya Laa hawlaa walaa quwwataa illaa billaah. Tidak ada daya, tidak ada kekuatan kecuali kekuatan dan daya yang diberikan Allah. Bahkan ketika muazzin mengatakan Hayya alal-falah, mari menuju kemenangan, mari menuju keberhasilan, mari menuju kesuksesan, kita juga mengatakan Laa hawlaa walaa quwwataa illaa billaah.
Ternyata ada makna yang cukup dalam di sini. Orang tidak akan bisa melaksanakan sholat kalau tidak berangkat dari kekuatan yang diberikan Allah pada dirinya. Sesugguhnya ketika kita sholat, kita menggunakan energi Allah untuk menghadapnya. Tanpa energi itu kita takkan mampu berdiri, kita tidak akan mampu rukuk, kita tidak akan mampu sujud. Perhatikan! Betapa banyak orang yang badannya sehat, badannya kuat, tapi belum juga menegakkan sholat.
Tapi sering kita lihat di masjid, orang yang sakit, jalannya tertatih-tatih, dia dituntun, dia masuk kedalam masjid. Ada orang yang datang ke masjid dengan kursi roda, dengan berbagai macam model, tapi dia tetap hadir ke masjid, walaupun bisa jadi dia sedang sakit. Tetapi orang yang sehat, yang kuat, masih banyak yang tidak menegakkan sholat. Inilah kenapa ketika ajakan untuk sholat itu kita merasa yakin Laa hawlaa walaa quwwataa illaa billaah. Ya Allah, tanpa kekuatan yang Kau berikan, tanpa daya yang Kau berikan, kami tidak akan mampu berdiri sesaat untuk menyembahmu. Itu makna pertama.
Makna kedua, kenapa jawabannya Laa hawlaa walaa quwwataa illaa billaah itu? Karena sesungguhnya ketika orang sedang melaksanakan sholat, dia membawa dirinya dalam bentuk yang autentik, dalam bentuk yang asli. Apa aslinya kita itu? Apa hakikat kita itu? Hakikat kita sesungguhnya adalah pada jiwa, An-Nafs, yang bersumber dari Allah, itulah Ruh. Jadi sebenarnya ungkapan Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, kendati itu sering kita baca ketika mendengar khabar duka cita, tentang wafat. Tapi itu menjelaskan hakikat manusia. Kita berasal dari Allah. Apa yang dari Allah? Ruh! Akan kembali kepada Allah. Apa yang kembali kepada Allah? Ruh!
Fisik, tubuh, tulang, daging, begitu orang meninggal dunia, maka tubuh ini, tulang ini, fisik ini akan kembali berbaur menjadi tanah. Tapi Ruhnya tidak. Itu artinya begitu orang sholat, jangan bawa fisik dalam sholat, artinya jangan tunjukkan fisik ini kepada Allah, jangan bawa materi kepada Allah. Karena itu sama sekali bagi Allah tidak penting. Tapi bawalah Ruh.
Perhatikan! Isra’ Mi’raj itu kan perjalanan dari bumi menuju Sidratul Muntaha. Sebenarnya itu simbolisasi. Ketika perjalanan Isra’ dan Mi’raj kita disuruh meninggalkan sesuatu yang melekat pada diri kita. Dia punya jabatan, dalam sholatnya jabatannya harus dia tinggalkan. Dia punya harta, hartanya harus dia tinggalkan. Dia punya prestise apa, kemuliaan apa, kehormatan apa, semua itu harus dia tinggalkan. Karena memang Allah tidak memerlukan itu semua, tapi yang dilihat Allah adalah Ruhnya itu sendiri. Itulah sesungguhnya makna sholat itu. Orang yang masih membawa materi, orang yang masih membawa kesombongan dirinya, orang yang masih membawa keakuannya, sholatnya tidak akan tersambung kepada Allah Swt.
Sama seperti orang mendaki gunung, bayangkan dia menaiki gunung, ranselnya terlalu berat, isi kantong baju dan celananya terlalu banyak barang, dia naik gunung, apa yang terjadi? Dia akan kesulitan naik gunung. Pesawat kalau kelebihan beban dia akan susah sekali untuk take-off. Makanya pesawat itu punya ukuran sendiri terkait berapa beban yang bisa dia bawa, kalau melewati itu dia tidak bisa take-off. Sama saja dengan kita, kalau diri ini dibebani dengan banyak materi, dalam arti kata kita menganggap jabatan, harta, itulah yang membuat kita mulia dan dihormati orang, sehingga orientasi kita hidup di dunia ini adalah untuk materi, lalu kita Allaahu Akbar, Allah akan katakan, “Engkau bukan membesarkanku.” Tapi kalau kita tinggalkan itu semua, yang naik adalah ruh kita, maka sholat itu menjadi media komunikasi dengan Allah Swt.
Argumentasi kedua, kenapa Nabi dibawa oleh Buraq? Buraq itu artinya kilatan, cahaya, sama maknanya dengan Nur. Lalu Nabi sampai ke Sidratul Muntaha, lalu Nabi menerima sholat. Ada seorang sufi berkata begini, “Kalau aku jadi Muhammad, begitu aku bertemu Tuhan, aku tidak mau lagi turun ke bumi.” Kenapa? Sebenarnya apa tujuan hidup kita? Lalu kita jawab, kita di akhirat mau masuk surga. Kalau di surga kita mau dapat apa? Dalam Al-Qur’an ada dua rangsangan Allah. Pertama Allah katakan, dalam surga ada sungai yang mengalir, dalam surga ada buah-buahan, ada makanan, dalam surga ada pasangan-pasangan.
Tapi kenikmatan material itu menjadi tidak penting karena tiga hal. Kenikmatan surga yang pertama pada saat keluarga kembali berkumpul. Maka suami yang hebat, ayah yang hebat, bukan yang menyiapkan rumah, mobil untuk anak-anaknya. Tetapi laki-laki yang hebat, menjadi ayah, menjadi suami, yang dia bisa membawa keluarganya bersama-sama kedalam surga. Periksa Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 21-24, periksa juga Al-Qur’an surat Ath-Thur.
Kenikmatan kedua yaitu bertemu dengan Rasulullah. Orang umrah, sebenarnya yang mau dicari dari umrah itu apa? Ya, dia ibadah kepada Allah. Apa yang lain? Ingin ziarah di makam Nabi. Orang haji, berbondong-bondong orang di masjid Nabawi untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah. Di akhirat nanti orang bisa bertemu dengan Nabi Saw.
Tapi ada kenikmatan ketiga yang membuat semuanya tidak penting, tidak bermakna lagi. Apa itu? Surat Al-Kahfi ayat terakhir, “Barang siapa yang bertemu dengan Tuhannya.” Pada saat bertemu dengan Allah, semua kenikmatan yang pernah kita rasakan di dunia ini menjadi tidak ada maknanya sama sekali. Lebur dengan nikmatnya bertemu dengan Allah Swt.
Nabi Muhammad sudah bertemu dengan Allah. Maka sufi tersebut mengatakan, “Kalau aku sudah jumpa dengan Allah, aku tak mau lagi turun ke bumi.” Nyatanya Nabi Muhammad bertemu dengan Allah, lalu dia turun ke bumi.
Sebenarnya turun ke bumi itu untuk apa? Kita selesai sholat ngapain? Sebenarnya tiga saja yang kita lakukan. Membuktikan Allaahu Akbar, yang kedua membuktikan tahmid, tasbih, dan tahlil, yang ketiga membuktikan salam. Ini kunci kuliah zuhur hari ini.
Allaahu Akbar! Pertanyaannya, mungkinkah orang mampu merasakan kebesaran Allah tanpa melalui ilmu pengetahuan? Tidak mungkin! “Ya Tuhan, tidak ada yang Kau ciptakan alam ini dengan kebathilan.” Semuanya kosmos, serasi. Tapi itu hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berilmu. Ilmu astronomi akan menyingkap kebesaran Allah di alam semesta. Orang yang tidak paham ilmu astronomi tidak akan bisa merasakan kebesaran Allah.
Ilmu biologi akan membongkar dalam tubuh manusia ini ada berapa macam keajaiban-keajaiban. Dalam tubuh seekor tikus ada berapa macam keajaiban. Orang yang ahli biologi akan mengatakan Subhaanallaah, maa khalaqta haadzaa baathilaa. Ahli fisika, matematika, dan semua ilmu, Allaahu Akbar akan bermakna kalau orang menguasai ilmu pengetahuan. Tapi kalau tidak ada ilmu pengetahuan, dia pun tidak tahu Allah Maha Besar, dimana letak besar dan hebatnya Allah? Makanya orang yang sholat, dia akan bersungguh-sungguh menuntut ilmu. Yang kedua, dalam hidupnya dia akan menyertakan Allah. Maka hamdalah, Alhamdulillaahirobbil aalamiin, di tengah ada Tahmid, ada Tahlil, ada Tasbih, hidup tidak bisa dipisahkan itu.
Yang terakhir, salam. Kebesaran Allah yang dia temukan lewat ilmu pengetahuan, ilmu inilah yang dia pakai untuk menebarkan kedamaian, ketenteraman, keselamatan di dunia. Kita kunci kaji kita! Hidup itu tiga, pertama Billaah, mulai dengan Allah, apapun itu. Kedua, Ma’allaah, sertakan Allah dalam hidup. Dan yang ketiga, Lillaah, persembahkan hidup untuk Allah. Oleh karenanya orang yang sholat jika tidak ada keseriusan menuntut, mengembangkan, mencari ilmu, orang yang sholat jika tidak menjadikan Allah menyertai dalam kehidupannya, orang yang sholat jika tidak mempersembahkan apapun yang dia lakukan untuk Allah, maka itulah sesungguhnya ibadah yang sia-sia.
Dalam sekali sebenarnya makna peristiwa Isra’ Mi’raj, mudah-mudahan kita bisa merenungkannya dengan baik dan menjadi meningkatkan kualitas ibadah kita. selesai sholat kita punya tanggung jawab besar, selesai Nabi Isra’ Mi’raj, Nabi punya tanggung jawab besar membangkitkan peradaban Islam itu sendiri dengan sains, teknologi, dan menciptakan kedamaian bagi semesta.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.