Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Di antara tradisi para sahabat Nabi ketika mereka berpisah dari sebuah pertemuan, mereka bersalaman lalu membaca surat Al-Ashr, dan itu selalu dilakukan. Kalau kita kembali ke tradisi kita, bagi orang yang pernah mengaji di Madrasah Ibtidaiyah. Selalu saja kalau kita mau pulang, kita ramai-ramai membaca Al-Ashr. Begitu juga kalau orang mengaji malam, baca Al-Ashr. Kenapa ayat ini sering dibaca? Pertama memang ada isyarat dari Nabi Muhammad Saw tentang keutamaan surat ini. Bahkan dalam satu hadits Nabi berkata, “Andaikan dari Al-Qur’an itu hanya turun surat Al-Ashr saja, itu sudah cukup dijadikan pedoman bagi manusia.”
Surat Al-Ashr itu memiliki kedalaman makna, dan yang paling penting adalah surat Al-Ashr itu sesungguhnya surat masa depan. Surat yang mengajarkan kita untuk bisa mengantisipasi masa depan. Kita lihat ayat pertama, Allah bersumpah kepada waktu, dan ini bukan satu-satunya ayat yang Allah bersumpah kepada waktu. Kenapa Allah bersumpah kepada waktu? Tentu saja alasan pertama adalah karena waktu itu penting. Tapi ada makna yang lebih dalam lagi. Ketika Allah bersumpah dengan waktu, itu sebenarnya mengajarkan kepada kita bagaimana kita bisa memberi makna pada perjalanan waktu itu.
Setiap orang diberikan siklus waktu yang sama, setiap orang memiliki waktu kira-kira durasinya 24 jam. Tapi tidak semua orang memberikan makna yang sama terhadap 24 jam ini. Bisa jadi ada orang yang dari 24 jam itu, yang bisa diberinya makna tidak lebih hanya satu jam saja. Yang 23 jam berlalu tanpa ada makna yang bisa diberikan. Memberi makna pada waktu itu menjadi sebuah keniscayaan. Coba renungkan perjalanan hidup kita. Kalau hari ini usia kita 25, 26, 30, 35, 40 tahun, pertanyaannya adalah dari umur yang panjang itu kapankah yang paling bermakna dalam hidup kita?
Dalam bahasa yang berbeda, mana hari yang paling bersejarah, mana bulan yang paling bersejarah, mana tahun yang paling bersejarah? Kalau kita hanya menjawab, ternyata dalam sejarah hidupku yang paling bersejarah itu adalah pada bulan ini, tanggal sekian, lalu yang lainnya jadi apa? Orang beriman itu akan melewati hari-harinya penuh makna. Dan setiap hari-hari yang dilaluinya adalah sejarah penting dalam kehidupannya. Ini makna kenapa Allah bersumpah kepada waktu.
Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, apa maknanya itu? Coba perhatikan, bisa jadi ada orang di sekeliling kita, di masyarakat kita. Mau berubah seperti apapun zaman ini, dia tetap pada posisinya semula, tak memberi efek pada dirinya, itu orang yang merugi. Kalau bahasa politiknya, mau berganti rezim yang seperti apapun dia tetap tidak bisa memberikan kontribusi yang lebih banyak untuk bangsa, untuk masyarakat. Dia tetap pada posisinya semula. Itulah sesungguhnya yang dimaksud “Sesungguhnya manusia dalam kerugian.” Karena dia tidak bisa membaca tanda-tanda zaman, baik tanda-tanda kecil, tanda-tanda sedang, atau tanda-tanda besar. Karena dia tidak bisa membaca tanda-tanda zaman, dia tidak bisa memberi respons yang positif. Itulah mengapa orang disebut berada dalam kerugian.
“Kecuali orang yang beriman.” Ini penjelasannya normatif, dalam era yang seperti apapun, dalam zaman yang bagaimanapun iman menjadi penting, itu sudah selesai. Lalu yang menjadi persoalan kita adalah ketika menerjemahkan Wa amilush-sholihat. Kita memahami Wa amilush-sholihat itu adalah sholat, puasa, zakat, berinfaq, bersedekah. Padahal ayat itu tidak hanya bicara kebaikan dalam konteks itu. Karena dia bicara dalam konteks waktu, maka Wa amilush-sholihat itu adalah bagaimana orang melengkapi kapasitas dirinya untuk bisa hidup pada zaman tertentu.
Percayalah, pekerjaan yang kita cari akan ditentukan oleh kapasitas yang kita punya. Orang yang ingin bekerja di luar negeri atau orang yang ingin menjadi diplomat, kalau dia tidak melengkapi kapasitas dirinya dengan kemampuan bahasa asing, maka dia menjadi tidak pantas untuk mendapatkan pekerjaan itu. Jadi, Wa amilush-sholihat itu membekali diri yang memungkinkan kita bisa melakukan banyak kebaikan-kebaikan.
Coba perhatikan, kenapa seorang Thomas Alfa Edison, James Watt, Steven Hawking, dengan temuan-temuan ilmiahnya bisa memberi makna yang luas bagi kehidupan manusia. Itu karena mereka membekali, melengkapi kapasitas dirinya yang dia bisa berbuat lebih banyak buat masyarakat. Makna Wa amilush-sholihat bukan sebatas menolong orang, tapi berkontribusi yang lebih besar, karena kita punya kemampuan untuk melakukan itu.
Ayat berikutnya yang paling menarik, Wa tawaashoubilhaq. Tafsir tradisionalnya adalah saling memberi nasihat, saling memberi tausiyah. Untuk hari ini maknanya tidak lagi itu. Bukan berarti makna yang awal itu tidak penting, tapi kita harus menerjemahkan lebih jauh terkait makna itu. Hari ini selalu saja disebut kita berada pada era revolusi industri, masyarakat 4.0. Kalau hari ini disebut masyarakat 4.0, pertanyaannya adalah 1.0-nya apa? 2.0-nya apa? 3.0-nya apa?
Begitu kita belajar maka kita menjadi paham bahwa skill itu menjadi niscaya. Misalnya, pada masyarakat 1.0, itu adalah masyarakat hunter, masyarakat berburu. Maka yang diperlukan pada saat itu adalah kemampuan berburu. Siapa yang jago memanah, menembak, menangkap, maka dia akan survive. Tapi masyarakat 1.0 itu tidak bertahan lama. Kita bergeser masuk kepada masyarakat 2.0, masyarakat seperti apa itu? Agraris, masyarakat pertanian, yang punya tanah, yang punya sawah, yang punya lading, yang punya hutan, yang punya tanam-tanaman, dia akan bisa hidup pada saat itu.
Tapi tidak bisa bertahan lama, karena berganti masyarakat 3.0. Dulu orang membajak sawah cukup pakai cangkul, tapi hari ini tidak mungkin lagi, sudah ada mesin yang mengerjakan itu dengan cepat. Pada masyarakat 2.0 orang mau memotong kayu pakai kampak dan parang, satu hari dia bisa mendapatkan beberapa kayu, sangat terbatas. Tapi pada masyarakat 3.0, masyarakat industri yang titik tekannya pada mesin, maka dengan sinso dia bisa memotong kayu lebih cepat. Dan dia bisa melakukan banyak hal lebih cepat. Tapi masyarakat 3.0 tidak bertahan lama, kita sekarang masuk pada 4.0. Apa itu masyarakat 4.0? Itu yang disebut dengan masyarakat multimedia, masyarakat digital, masyarakat internet, masyarakat media sosial, dan berbagai macam istilah-istilah lain.
Apa kata kuncinya pada masyarakat 4.0? Itulah dalam bahasa Al-Qur’an, Wa tawaashoubilhaq, yang maknanya dia harus membangun jaringan. Kalau kita buka rumah makan, ayam penyet, ayam geprek, ayam macam-macam, tapi kita tidak berkoneksi dengan GoJek, dengan GoFood, maka kita tidak akan diperhitungkan orang dalam persaingan bisnis makanan itu. Kalau kita punya produk, kita tidak memanfaatkan Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, dan macam-macam, maka orang yang mengenal produk kita akan sangat terbatas.
Jadi, Wa tawaashoubilhaq itu adalah bagaimana membangun jaringan yang luas, yang membuat kita bisa berkolaborasi. Tiga nilai penting pada masyarakat revolusi industri, yang pertama adalah jaringan, yang kedua adalah kecepatan. Sekarang orang yang lambat akan tertinggal. Tapi ada yang ketiga, itu namanya ta’awun, saling tolong menolong. Wa tawaashoubilhaq ini bukan saja membangun jaringan, tapi dia saling membesarkan.
Yang terakhir adalah Wa tawaashoubish-shobr, itu yang disebut dengan kemampuan mengendalikan diri. Semua orang ada masanya. Dia harus bersabar melihat tanda-tanda zaman, lalu memberi respons yang tepat pada perjalanan waktu itu. Mahasiswa yang semester 4 tentu tidak bisa dia menjadi sarjana. Dia harus lewati tahapan demi tahapan secara bagus, tapi dalam proses itulah dia sebenarnya membangun kesabaran dalam dirinya. Dalam bahasa yang lain kesabaran ini maknanya adalah kemampuan mengendalikan diri sehingga kita bisa hadir pada masa yang tepat, zaman yang tepat.
Setiap orang punya masanya, setiap orang punya tempatnya, itu doktrin yang tidak terbantahkan. Tinggal lagi banyak orang yang tidak sabar menunggu tempat dan menunggu masanya. Pada saat kita mempersiapkan itu maka bekalilah diri dengan kapasitas-kapasitas yang pada saat momentumnya tiba, maka kita bisa hadir untuk memberikan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan masyarakat kita. Inilah sesungguhnya tafsir progresif dari surat Al-Ashr itu, yang ayatnya pendek namun memiliki makna yang cukup dalam.
Demikian, mohon maaf atas segala kekurangan.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.