Dr. Hasrat Efendi Samosir, MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Sebagaimana kita tahu bahwa dalam komunikasi paling tidak ada lima unsur yang harus dimiliki. Yang pertama adalah komunikatornya, orang yang menyampaikan informasi atau dalam bahasa agama disebut da’i. Yang kedua adalah komunikannya, orang yang menerima, khalayak, publik, masyarakat, pengguna, atau yang menerima media tadi, dalam bahasa agama disebut mad’u. Yang ketiga adalah media itu sendiri, bagaimana media ini menyampaikan pesan yang tentu akan diterima oleh masyarakat, dalam bahasa agama disebut wasilah atau perantara. Yang keempat adalah message atau pesannya, pesan yang disampaikan kepada khalayak dalam bahasa agama disebut maddah. Dan yang terakhir itu adalah feed-back, pengaruh, umpan balik, efek daripada apa yang akan terjadi apabila satu informasi disampaikan kepada orang lain.
Jamaah yang dirahmati Allah.
karena itu kita tentu harus senantiasa berhati-hati, menggunakan media tadi secara cerdas. Etika-etika, adab-adab dalam menggunakannya harus kita jaga. Nah, paling tidak ini akan bisa membuat kita menjadikan media itu sebagai media silaturrahim. Apa pun itu sebenarnya untuk menghubungkan silaturrahim, memudahkan kita berkomunikasi. Walaupun jarak yang begitu jauh, tempat yang terpisah, tetapi dengan komunikasi informasi ini, dunia ini seperti global village, seperti satu kampung saja. Kita bisa berkomunikasi setiap saat walaupun jaraknya berbeda. Bahkan tidak hanya telepon, sms, bahkan bisa melakukan video call, telekonferens, yang kita bisa melihat dia dan dia juga bisa melihat kita.
Jamaah yang dirahmati Allah.
Paling tidak kejujuran suatu informasi, keakuratan, keshohihannya harus kita jaga. Kalau misalnya orang yang menyampaikan, kita teliti siapa yang menyampaikan. Media itu media apa yang digunakan. Inilah yang perlu kita lihat, sehingga yang namanya media sosial itu akan bisa menghasilkan manfaat yang banyak, jangan justru mendatangkan mudharat. Dalam kaidah ushul fiqih ada satu hukum sebenarnya bagaimana kita bisa menolak satu kemudharatan, maslahah mursalah. Sehingga ada ungkapan, dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih, menolak kemudharatan didahulukan daripada mengambil manfaat.
Jamaah yang dirahmati Allah.
Di dalam ayat Al-Qur’an yang tadi dibacakan, pada surat Al-Hujurat ayat 6 ada perintah Allah di situ. “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”
Jamaah yang dirahmati Allah.
Pada ayat Al-Qur’an ini, sebab ayat ini turun adalah ketika itu ada suatu kaum, suatu kampung, yang mereka itu masuk Islam seluruhnya. Karena mereka masuk Islam, mereka mengatakan setia kepada Nabi, maka tentu Rasulullah Saw mengatakan ada kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan, tidak hanya sholat, tapi juga zakat. Terutama kepada orang-orang kayanya agar membayar zakat. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan sahabatnya Walid bin Uqbah sebagai petugas zakat untuk kaum tadi, maka Walid bin Uqbah pun berangkat.
Ketika dia hampir sampai di kampung tersebut, masyarakat di kampung tersebut sudah menunggunya di perbatasan sehingga ciut nyali Walid bin Uqbah. Ia merasa masyarakat tersebut akan mencelakakannya. Akhirnya dia tidak jadi datang memungut zakat dan memilih untuk pulang. Lalu dia sampaikan kepada Nabi bahwa masyarakat itu ingkar zakat, mereka tidak mau membayar zakat. Dan karena Walid merasa takut karena mengkhawatirkan keselamatannya, ia sampaikan bahwa ia memilih untuk pulang. Inilah berita yang diterima oleh Rasul.
Bayangkan kalau tidak ada tabayyun dan Nabi tidak meneliti terlebih dahulu benar atau tidaknya berita tersebut. Bisa-bisa Nabi mengutus pasukan dan akan memerangi masyarakat kaum itu karena ingkar zakat. Tetapi kemudian ayat ini turun dan mengingatkan agar tabayyun. Lalu Rasulullah Saw mengutus beberapa sahabatnya agar mengecek kebenaran berita tadi. Mereka menyelinap masuk ke kampung itu menjelang subuh, lalu mereka mendengar di kampung itu ada adzan berkumandang. Sahabat tersebut menyimpulkan berarti mereka Islam dan taat.
Lalu informasi tersebut sampai kepada Nabi dan dipanggil lah kepala suku kaum tersebut. Kepala suku tersebut mengatakan, “Ya Rasul, kami bukan ingkar zakat. Kami menunggu-nunggu utusanmu Ya Rasul. Kami sangat senang sekali jika dia datang, makanya kami sambut.” Ternyata utusan Rasul, Walid bin Uqbah telah membuat kesimpulan yang keliru. Maka ini menjadi bukti bahwa kita tidak boleh mentah-mentah menerima informasi. Maka di antara hal-hal yang paling penting sebenarnya, etika kita bermedia sosial ini, mari kita jadikan itu sebagai alat untuk menyebarkan kebaikan-kebaikan.
Maka bagaimana antisipasi kita untuk mengatasi informasi-informasi yang tidak benar? Prof. Mahfud MD. Pernah mengatakan, “Naikkan logikamu, maka hoax akan turun.” Jadi kita menaikkan akal sehat kita, akal cerdas kita, maka niscaya berita bohong tidak akan menimpa kita. Karena kalau kita menggunakan akal sehat kita, maka kita akan tahu informasi tadi siapa yang menyampaikan, apa medianya, bagaimana tingkat keakuratan media tersebut.
Jamaah yang dirahmati Allah.
Berapa banyak orang yang akhirnya menyesal dengan apa yang mereka bagikan di media sosial. Banyak orang misalnya yang melakukan hal-hal yang keliru tadi, kemudian dia memberikan fitnah, akhirnya berurusan dengan hukum. Karena itu di tengah-tengah banjirnya informasi dan gandrungnya orang bermedia sosial, tetaplah kita gunakan itu sebagai sarana ukhuwah, berbagi kebaikan, bukan membagi aib orang lain dan lain sebagainya. Mari kita ingat satu ungkapan, sebatang pohon bisa menghasilkan ribuan bahkan jutaan korek api, tetapi jutaan pohon bisa hangus dan terbakar habis karena sebatang korek api.
Diri kita dan korek api sama-sama memiliki kepala, tapi kita memiliki otak, sedangkan korek api tidak. Korek api jika bergesek akan langsung menghasilkan api dan membakar semuanya. Kita bukanlah korek api, kita memiliki kepala, otak, dan akal yang cerdas untuk menyeleksi itu semua. Karena itu, seribu bahkan jutaan pikiran yang positif akan bisa habis dengan satu pikiran yang negatif. Karena itu pikiran-pikiran yang negatif tadi mari kita jauhi, sehingga tidak bergesek seperti korek api. Akhirnya memercikkan api lalu membakar semuanya. Karena itu juga marilah kita cerdas dalam melihat informasi, menggunakan media sosial. Jangan sampai kita jadikan itu ajang untuk saling memutuskan silaturrahim dan permusuhan. Tetapi jadikan itu untuk saling berkasih sayang, memperbanyak teman.
Ada satu ungkapan, seribu teman itu masih terlalu sedikit, tetapi satu musuh itu terlalu banyak. Tentu kita tidak mau memperbanya musuh-musuh kita, tapi justru kita ingin memperbanyak teman-teman kita. Itulah media sosial. Karenanya tetap kita gunakan etika, adab kita dalam menggunakan media sosial. Apalagi terhadap informasi, hendaklah kita tabayyun sehingga tidak membuat kemudharatan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga nanti akan membentuk masyarakat dan budaya yang sadar dengan informasi.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.