Prof. Dr. H. A. Rafiqi Tantawi, MS.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Dalam keseharian kita, di tengah pergaulan kita, di tengah masyarakat kita, kita melihat berbagai perilaku destruktif. Baik kita mengamati langsung maupun kita dapatkan dari media elektronik, kita dengar dan kita lihat. Seperti misalnya perkelahian, tawuran antar pelajar, antar kampung, antar desa, pengeroyokan oleh geng tertentu misalnya. Perampasan, perampokan, pencurian, dan sebagainya, disertai dengan kekerasan. Demonstrasi, juga unjuk rasa disertai perusakan-perusakan sarana umum. Kemudian penyalahgunaan narkoba, free sex, melukai orang lain, melukai orang tua, bahkan membunuh keluarga, dan sebagainya. Kita sering melihat fenomena seperti ini akhir-akhir ini.
Dalam konteks pendidikan pun kita juga di lembaga-lembaga pendidikan kita temukan misalnya di sekolah, kenakalan yang dilakukan anak-anak. Bukan lagi sekedar misalnya bolos, mencontek, ini juga sesuatu yang tidak baik. Melanggar tata tertib, baik sekolah maupun institusi, membawa gambar-gambar dan bacaan-bacaan porno, membohongi dan menentang orang tua, tidak patuh atau tidak mau mengerjakan tugas-tugas dan sebagainya.
Di sisi lain kita juga melihat fenomena manusia berlomba-lomba mengejar materi dan kedudukan duniawi sehingga terkadang melupakan ajaran dan tuntunan agama yang melalaikan kepatuhan terhadap perintah Allah Swt dan ajaran Rasulullah. Fenomena ini semuanya mengakibatkan munculnya berbagai penyakit-penyakit mental yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut, “Di dalam hati mereka ada penyakit.” Yang kalau hal ini dibiarkan berlangsung terus menerus, Al-Qur’an mengklaim bahwa akan ada “dan penyakit itu akan bertambah terus.”
Dalam kajian akademik atau kajian-kajian psikologi ini kita kenal dengan istilah pengendalian diri. Kenapa bisa terjadi seperti itu, seperti fenomena tadi, bisa kita lihat itu sebagai contoh-contoh saja akibat rendahnya pengendalian diri atau self control seseorang. Pengendalian diri atau kontrol diri, atau dalam bahasa akademik disebut self control, ini kalau kita membaca teori, maknanya adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan dan dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial.
Kontrol diri atau self control ini juga dalam makna kemampuan individu untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan tercela, ini diistilahkan dalam Islam sebagai “Mujahadah An-Nafs.” Jadi, Mujahadah ini artinya bersungguh-sungguh. Sedangkan An-Nafs sendiri adalah jiwa, diri kita sendiri dan nafsu. Jadi Mujahadah An-Nafs itu adalah perjuangan yang sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu atau sungguh-sungguh menghindari perbuatan yang tercela yang melawan hukum Allah Swt. Ini dikatakan sebagai pengendalian diri.
Ketidakmampuan kita melakukan pengendalian diri untuk senantiasa berada di jalan Allah, merujuk kepada firman Allah Swt di dalam surat Al-Mujadalah ayat 19, ada kecenderungan bahwa seseorang itu akan bersekutu dengan setan. “Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa golongan setan itulah golongan yang rugi.”
Persoalan Hizbusy-syaithon atau golongan setan ini pernah mencuat di satu politikus kita, menggunakan istilah Hizbusy-syaithon. Ketika kita lihat ayat ini, “Setan telah menguasai atas mereka.” Menguasai di sini dimaknakan sebagai mempengaruhi. Bahwa setan telah mampu mempengaruhi, sedangkan setan itu sendiri dimaksudkan adalah pengikut-pengikut setan. Manusia yang bersekutu dengan setan itu dikatakan sebagai pengikut setan. Tetapi di dalam ayat tersebut dikatakan, “Setan telah menguasai mereka, maka Allah melupakan mereka untuk mengingat Allah.” Dalam hal ini kita, orang yang melupakan Allah, dan telah mengikuti atau terpengaruh oleh setan, maka perlu ditangkal. Penangkal daripada apa yang dikatakan pengikut setan ini, haruslah ada self control itu tadi.
Untuk menangkal ini kita perlu menyadari bahwa hal itu sebenarnya adalah wilayah akhlaq, akhlaq yang tercela. Yang perlu kita mengendalikan diri kita dari seluruh perbuatan atau akhlaq yang tercela itu. Jadi kontrolnya dalam perspektif Islam, kita harus bermujahadah, bersungguh-sungguh untuk melaksanakan kontrol diri, Mujahadah An-Nafs. Mengendalikan diri yang secara teknis sebenarnya diupayakan bagaimana kita melakukan introspeksi terhadap ayat yang diajarkan oleh Al-Qur’an tadi.
Di dalam surat Al-Hasyr Allah mengatakan yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah. Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya pada masa lalu untuk hari esok. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Maka karena itu kita senantiasa introspeksi diri, introspeksi diri itu akan membawa kita pada Kontrol diri, yang di dalam kontrol ini sebenarnya adalah membangun keluhuran budi untuk bisa jauh daripada perbuatan-perbuatan yang bersekutu dengan setan.
Kontrol diri ini sangat penting, ketika suatu saat Rasulullah Saw pulang dari perang Badar. Perang Badar itu termasuk salah satu perang yang besar di zaman Rasulullah Saw. Ketika pulang perang Badar, Rasulullah mengatakan kepada para sahabat, “Kita baru saja kembali dari perang yang kecil, dan akan masuk kepada satu perang yang besar.” Sahabat bertanya, “Ya Rasululah, Apakah ada lagi perang yang lebih besar dari ini?” Rasulullah mengatakan, “melawan hawa nafsu.” Ini adalah bagian daripada pembicaraan tentang kontrol diri atau self control.
Ketika kita berbicara tentang self control ini lebih lanjut, maka dalam pengendalian diri menarik kita menyimak apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dalam perang Khandaq. Bersama Rasulullah Saw dan para sahabat ketika perang Khandaq, seorang Quraisy yang kala itu ditakuti orang musyrikin Quraisy, Amr bin Abdul Wad Al-Amiri. Ia menantang umat Islam untuk “duel” dengannya. Ketika ditawarkan kepada sahabat, tidak ada satu orang sahabat pun yang berani melawannya kecuali Ali bin Abi Thalib yang masih muda belia. Tentu saja Amr akan meremehkan Ali bin Abi Thalib.
Terjadilah duel antara keduanya, hingga Amr pun akhirnya terpojok. Justru Ali yang dilecehkan berhasil memenangkan pertandingan duel itu, sedikit saja lagi Ali akan memenggal kepala Amr, tetapi Ali bin Abi Thalib tidak melakukannya. Dalam suasana seperti itu Amr masih sempat meludahi wajah Ali, namun justru Ali diam dan tidak membalas. Mengapa Ali tidak membalas ketika itu? Karena pada waktu itu Ali sangat marah, dan dia tidak mau membunuh orang pada saat situasi marah.
Inilah kontrol diri yang luar biasa! Ali bin Abi Thalib tidak mau melakukan pembunuhan itu pada saat marah. Tetapi dia ingin menghabisi Amr dalam situasi saat dia tenang dan bersama Allah Swt. Situasinya tenang dan dia membunuh karena Allah, bukan karena marah. Maka dalam situasi seperti ini, kita melihat betapa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat mampu mengendalikan diri. Maka pengendalian diri ini kemudian membawa penghargaan yang besar kepada kita. Kalau kita mampu mengendalikan diri agar tetap berada di jalan hukum Allah dan norma-norma yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Dikaitkan dengan, bagaimana membangun wibawa dengan self control, beberapa cara dapat dilakukan. Yang pertama kita memberi tujuan yang jelas mengenai arah dan tujuan terhadap diri kita atau terhadap orang lain yang kita bina. Diri kita juga harus memiliki tujuan yang jelas. Yang kedua, dalam kaitannya dengan pengendalian diri kita harus mampu menghadapi berbagai situasi. Seperti yang dilakukan Ali bin Abi Thalib, dalam keadaan marah yang sangat besar, dia tidak mau membunuh dalam situasi sedang marah.
Yang ketiga, memberikan rasa kepercayaan kepada diri sendiri. Ada rasa percaya diri untuk bisa melakukan Kontrol terhadap diri. Dan yang keempat, dapat memberikan stimulus dalam pengubahan pola perilaku. Beberapa lagi bisa dengan mudah mengatasi frustrasi dan juga berbagai ledakan emosi. Mampu menunda kepuasan dirinya sendiri. Berikutnya memberikan stimulus pengubahan pola pikir. Yang kedelapan, memiliki inisiatif yang tinggi untuk dirinya sendiri. Yang kesembilan, menerapkan terapi yang dilakukan sesuai dengan usia. Yang kesepuluh, dapat mengontrol keputusan. Yang kesebelas, dapat mengantisipasi keadaan dengan baik. Dan yang kedua belas, memberikan penghargaan pada hasil usaha sendiri.
Ini memang tidak mudah, self control adalah bagian dari apa yang kita upayakan. Untuk kita mampu senantiasa mengendalikan diri pada derajat kepatuhan yang baik kepada Allah Swt.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.