Prof. Dr. H.A. Ya’qub Matondang, MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Perlu kita samakan persepsi lebih dulu bahwa An-Nafs itu berbeda dengan Al-Jasad. Kalau Al-Jasad itu tubuh kasar kita, fisik kita. sedangkan yang dimaksud dengan An-Nafs di sini adalah diri yang bahagian dalam, inner dari Al-Insan itu. Jadi ada manusia dari bentuk fisiknya, tapi ada manusia dari bahagian dalamnya. Al-Qur’an membicarakan An-Nafs ini dalam berbagai ayat. Kalau dihimpun keseluruhannya diadakan pembahagian atau taksonominya itu ada tiga bentuk An-Nafs.
Yang pertama, An-Nafsul Muthmainnah. Ini adalah diri, bagian dalam manusia itu yang tenang. Ketenangannya itu karena mendapat ridho Allah Swt. Sehingga apapun yang dilakukannya di dalam kehidupan ini adalah sejalan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam Diinul Islam. Baik itu terkait dengan masalah aqidah, demikian juga ibadah, muamalah, dan akhlaq. Ini semua mengacu pada tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga ia memiliki kehidupan yang nyaman, baik dalam kehidupan duniawi, demikian juga ukhrawi. Ia berbuat secara benar, bertindak jujur, ia melakukan amanah, ia melakukan semua Akhlaqul Kariimah. Kehidupannya tidak was-was, ia yakin betul tentang apa yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak dari Allah Swt.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr ayat 27-28 disebutkan yang artinya, “Wahai diri yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu secara rela (tidak membantah, tidak membangkang, pasrah) dan diridhoi oleh Allah Swt. Masuklah kamu ke dalam hamba-hambaKu, dan masuklah kamu ke dalam surgaKu.” Ini kalau kita banding dengan jasad sebagai tubuh kasar atau fisik manusia, ini manusia yang memiliki sehat jasmaninya. Tidak sakit, tapi ia memiliki kesehatan prima yang tidak diganggu oleh berbagai penyakit.
Yang kedua, disebut dengan An-Nafs Al-Lawwaamah. Dalam surat Al-Qiyamah dijelaskan yang artinya, “Aku bersumpah dengan hari Kiamat. Dan Aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.” Lawwaamah ini dari arti bahasa yaitu selalu melakukan cercaan. Ini berarti diri yang melakukan penyimpangan, tapi apabila diri ini melakukan penyimpangan ia masih mampu untuk menerima nasihat. Ia mampu menerima masukan-masukan yang bisa kembali menyehatkan nafsnya dari penyimpangan itu. Karenanya, orang yang memiliki An-Nafs Al-Lawwaamah, ia menyadari apabila ia melakukan penyimpangan, ia menerima An-Nasiihah dari pihak manapun. Sepanjang An-Nasiihah itu merupakan ajakan di dalam Diinul Islam, Ad-Diin An-Nasiihah.
Yang ketiga, disebut An-Nafs La Ammaarotun Bissuu’, diri yang amarah Bissuu’. Yang selalu mengajak kepada kejahatan, mengajak kepada penyimpangan, mengajak kepada keingkaran dan kemaksiatan. Diri yang seperti ini sebenarnya akan mendapat ganjaran yang negatif dalam kehidupan dirinya. Ia akan melakukan berbagai bentuk penyimpangan, baik penyimpangan kalbu, dalam gerakan kalbunya, gerakan lisannya, demikian juga dalam gerakan anggota badannya.
Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 menjelaskan kepada kita yang artinya, “Karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” Ammaarah Bissuu’ ini kecuali yang dirahmati oleh Allah Swt, yang disayangi oleh Allah Swt. Karena itu dalam pengelolaan An-Nafs, kita bersandar kepada kasih sayang dari Allah Swt. Kita tetap melakukan At-Tadzkiiyyah, pembersihan terhadap An-Nafs dengan banyak zikir kepada Allah. Membaca Al-Qur’an serta membiasakan diri dengan Al-Akhlaq Al-Kariimah dalam kehidupan keseharian kita. Mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.