Dr. Hasrat Efendi Samosir, MA.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Kita tahu bahwa ajaran Islam ini menempatkan umat Islam pada tiga posisi yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an. Yang pertama kita ini adalah sebaik-baik umat, karena itu kita menjadi umat role model atau menjadi contoh bagi umat yang lain. Yang kedua, Allah menyebut bahwa kita ini sebagai umat yang satu. Karenanya penting kita untuk menjaga persatuan, kekompakan, soliditas, dan solidaritas umat ini. Kemudian Al-Qur’an juga menyebut kita sebagai umat penengah. Dalam posisi ini bagaimana umat Islam selalu tampil untuk menjadi penengah berbagai hal, berbagai konflik, berbagai persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan ini.
Spirit tentang umat terbaik, umat yang satu, dan umat penengah itu, diaplikasikan oleh Rasulullah di dalam kehidupannya. Sehingga Rasulullah penuh dengan kearifan, bisa menghadapi, memberikan solusi terhadap konflik-konflik sosial yang terjadi ketika itu. Dan tentu ini menjadi pelajaran bagi kita. Salah satu contoh misalnya bagaimana ketika masyarakat Arab memindahkan hajarul aswad. Kita tahu ketika itu Rasulullah belum menjadi Nabi. Tapi tanda-tanda kenabian, tanda-tanda orang besar, tanda-tanda manusia pilihan itu sudah diberikan kepada Rasulullah Saw. Sehingga beliau mendapat pengakuan dari seluruh kabilah-kabilah yang ada di Arab.
Kita tahu masyarakat Arab ini, masyarakat gurun, memiliki ciri yaitu suka konflik. Sehingga ada yang disebut dengan hammiyatul jahiliyah, bagaimana panas dan tempramennya orang Arab jahiliyah itu. Sehingga Rasulullah menjadi Islahul Islamiyah, bagaimana memberikan islah terhadap persoalan tersebut. Ketika itu kehidupan ashobiyah, dimana masing-masing suku menganggap superioritas, sedangkan yang lain adalah imperioritas. Maka mereka merasa sukunya sendiri yang paling hebat. Ketika itu terjadi banjir yang menyebabkan hajarul aswad berpindah dari tempatnya. Maka untuk memindahkannya kembali ketempat semula, terjadi perselisihan pendapat.
Harus ada yang menengahi permasalahan itu agar tidak terjadi pertumpahan darah. Kehadiran Rasulullah ketika itu menjadi penengah dan mendamaikan kabilah-kabilah, suku-suku yang hampir bertikai itu. Beliau memberikan solusi yang menenangkan dan membahagiakan semua pihak. Yaitu dengan mengambil dan membentangkan serbannya, kemudian meletakkan hajarul aswad di tengah serban. Kemudian Rasul mengajak para kepala suku untuk bersama-sama memegang sisi-sisi serban dan mengangkatnya hingga hajarul aswad kembali ketempatnya semula.
Rasulullah memberikan contoh bagaimana kearifannya dapat mengatasi konflik sosial yang terjadi. Dengan melibatkan semua elemen sehingga semua merasa terapresiasi, merasa dirangkul, semua merasa diberikan hak dan dimuliakan. Sehingga Rasulullah Saw diberikan gelar Al-Amin atau orang yang dapat dipercaya. Maka saya melihat konflik yang terjadi saat ini tidak lain adalah karena faktor keadilan. Padahal adil itu dekat dengan taqwa.
Kemudian di samping itu Rasulullah Saw memberikan contoh bagaimana cara mengatasi konflik, yaitu dengan selalu melakukan negosiasi. Kita lihat dalam sejarah, masjid itu tidak hanya tempat sholat. Sidi Gazalba mengatakan bahwa masjid juga berfungsi sebagai tempat musyawarah, bahkan untuk menerima tamu-tamu Rasul. Kita mengetahui beberapa peperangan yang terjadi di masa Rasul. Tapi sebenarnya itu merupakan langkah pilihan terakhir. Karena langkah yang diutamakan Rasul adalah bernegosiasi, bermusyawarah, dari hati kehati.
Sebagai contoh, ada perjanjian hudaibiyah, baitul aqobah 1, baitul aqobah 2, lalu ketika Nabi berada di Madinah, beliau memberikan toleransi yang luar biasa. Bukan mendiskreditkan orang Yahudi, Nasrani. Bahkan Nabi menyepakati Piagam Madinah yang mengatur tentang tata negara, hak dan kewajiban setiap warga negara, sehingga semuanya berjalan seimbang tanpa harus berat sebelah. Rasulullah Saw mengatasi konflik sosial tersebut disamping berdialog dan negosiasi, adalah dengan menegakkan arbitrase atau adanya hukum dan perundang-undangan yang dibangun.
Di Madinah pada waktu itu kaum Anshor pernah melakukan protes kepada Nabi melalui sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash. Mereka mempertanyakan mengapa pembagian harta rampasan perang lebih banyak diberikan kepada kaum Muhajirin daripada kaum Anshor. Informasi tersebut ditanggapa dengan cepat oleh Nabi. Beliau langsung berdialog dan menjawab pertanyaan kaum Anshor tersebut. Beliau mengatakan bahwa kaum Muhajirin meninggalkan hartanya, meninggalkan keluarganya, ternaknya, rumahnya. Segala kemewahan dunia mereka tinggalkan untuk hijrah, menegakkan kalimat Allah.
Sedangkan penduduk Madinah, mereka memiliki keluarga, rumah, ternak, juga dagangan. Sehingga Nabi mengatakan bahwa ini bukan persoalan sama rata, dan adil bukan sama rata, tapi proporsional. Karena kaum Muhajirin, mereka meninggalkan segalanya, maka wajar kalau mereka mendapatkan nilai lebih dari pembagian rampasan perang daripada yang didapatkan oleh kaum Anshor. Sehingga kaum Anshor mengatakan sami’na wa atho’na, kami dengar Ya Rasul, dan kami mentaati.
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 46 yang artinya, “Dan taatilah Allah dan RasulNya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar”. Allah mengingatkan kita untuk tidak berbantah-bantahan. Nanti kalau kita berbantah-bantahan, kita akan lemah, rusak, dan hilanglah kekuatan kita. Sebenarnya Al-Qur’an mengatakan dengan jelas, Rasul memberikan contoh dengan jelas, bagaimana konflik sosial ditangani dengan langkah-langkah yang tepat.
Terakhir, dalam kehidupan kita ini juga mungkin ada konflik, ada persoalan, ada masalah. Dikisahkan, ada dua orang abang beradik laki-laki yang orang tuanya baru saja meninggal dunia. Mereka berdua memiliki rumah yang saling berhadapan. Ternyata orang tua mereka meninggalkan warisan untuk mereka berdua. Namun si abang sangat tamak, ia mengambil semua harta warisan dan hanya menyisakan sedikit saja untuk adiknya. Kemudian si adik menanyakan kepada abangnya, mengapa pembagian itu tidak adil. Karena sangat kecewa dengan sikap abangnya, si adik mengatakan akan memutuskan persaudaraan dengan abangnya itu.
Kemudian si adik memanggil seorang tukang dan ia meminta untuk dibuatkan pagar yang tinggi sebagai batas antara rumahnya dan rumah abangnya. Ia ceritakan kepada tukang tersebut bahwa abangnya telah bertindak sewenang-wenang padanya. Mengambil sebagian besar harta warisan, kemudian membuat sungai sebagai pembatas antara rumah mereka berdua, karena tidak ingin lagi berjumpa dengan adiknya. Si adik juga menyampaikan bahwa ia tidak ingin berjumpa dengan abangnya, dan ia ingin pergi jauh selama sebulan.
Ketika si adik tersebut pergi, ternayata bapak tukang tadi tidak membangun pagar seperti permintaan si adik, ia malah membangun jembatan. Ia membuat jembatan yang indah di atas sungai yang dibuat oleh si abang. Melihat hal itu si abang tersentuh dan menyadari betapa zalimnya dirinya. Dengan semua kejahatan yang ia lakukan pada adiknya, ia mengira adiknya sangat baik karena mau membuat jembatan itu. Saat itu juga ia berjanji akan berlaku baik dan mengembalikan hak warisan kepada adiknya. Ketika si adik pulang, si abang langsung berlari menyambut, memeluk, dan meminta maaf kepada adiknya. Si adik bingung, hingga kemudian si abang menceritakan penyesalannya, akhirnya merekapun ishlah, berdamai.
Kemudian mereka meminta kepada bapak tukang tadi untuk tinggal bersama mereka karena ia telah membantu mendamaikan mereka berdua. Mereka kemudian menganggap bapak tukang itu sebagai orang tua angkat. Bapak tukang itu menjawab tawaran mereka, ia berterimakasih karena telah dianggap sebagai orang tua. Namun ia menolak tawaran tersebut karena beranggapan bahwa ia tidak boleh berlama-lama berada di tempat itu. Di luar sana masih banyak konflik, di luar sana masih perlu dibangun jembatan-jembatan hati, karena masih banyak orang yang bertikai. “Karena itu saya harus pergi, jembatan itu tidak boleh hanya dibangun di sini saja”, katanya. Jembatan-jembatan hati itu harus kita bangun di mana-mana. Itulah sebenarnya kunci dari ukhuwah Islamiyah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”. InsyaAllah negeri kita ini mendapat berkah rahmat dari Allah. Karena kita menjadi orang yang senantiasa ishlah dan menjauhi berbagai konflik-konflik sosial. Mudah-mudahan dapat mencerahkan kita semua, bahwa Rasul adalah tokoh resolusi konflik, yang mampu mengatasi konflik dengan begitu santun, baik, penuh kearifan, dan kasih sayang.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.