Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA.
Topik yang dimintakan kepada saya kali ini adalah kaitannya dengan kepemimpinan Rasulullah Saw. Saya akan mulai dengan mengutip sebuah buku yang ditulis oleh Jeremie Kubicek, buku itu berjudul Leadership is dead, how influence is reviving it. Kalau kita terjemahkan buku itu menjelaskan bahwa kepemimpinan telah mati, bagaimana pengaruh dihidupkan kembali.
Ada keresahan yang terjadi belakangan ini atau akhir-akhir ini. Bahwa kepemimpinan yang sesungguhnya itu sebenarnya tidak ada lagi. Karena ada banyak pemimpin tapi tidak memiliki pengaruh terhadap orang-orang yang dia pimpin, terhadap masyarakat yang dia pimpin. Inilah yang melatar belakangi mengapa Kubik menulis Leadership is dead, kepemimpinan itu telah mati.
Tidaklah mengherankan jika hari ini banyak pemimpin tapi pemimpin itu lebih banyak menuntut ketimbang memberi. Kita menemukan banyak pemimpin yang lebih menikmati bersenang-senang ketimbang pemimpin yang melayani. Kita menemukan banyak pemimpin yang mengumbar janji tapi tidak memberi bukti. Ini yang menjadi realitas sekarang ini. Lalu bagaimana kita membaca kondisi ini dengan perspektif keislaman dengan menjadikan Rasulullah Saw. sebagai teladan.
Ada yang menarik, kalau kita lihat buku-buku sejarah Islam, terutama yang menulis tentang kehidupan Rasulullah, ada bab yang amat sangat menggelitik. Bab itu judulnya Min ra’yil ghanam ila ro’iyatil umam, kalau diterjemahkan judul itu, dari pengembala kambing menjadi pemimpin umat. Nabi pernah bersabda seluruh Nabi itu, atau sebagian besar Nabi itu umumnya adalah pengembala. Bukan Rasulullah saja yang disebut pengembala, tapi Yesus juga pengembala. Maka selalu saja fotonya didekatkan dengan domba.
Mengapa harus mengembala kambing? Ternyata ketika Rasulullah mengembala kambing itu bagian dari desain Allah untuk melahirkan seorang pemimpin. Seolah-olah kita tidak akan bisa menemukan pemimpin yang benar-benar hebat tanpa dia pernah mengelola atau menjaga atau memelihara atau mengangoni kambing itu. Kenapa? Para sejarawan mengatakan pertama di dalam mengangon kambing itu di sana ada pengendalian, ada pemeliharaan, ada kesabaran, ada sensitifitas. Dan bagi orang Arab kambing itu sebenarnya adalah binatang yang lemah dibanding dengan unta. Unta itu binatang yang kuat, dia tidak minum berhari-hari malah berbulan-bulan, ia masih bisa hidup. Unta itu bisa memikul beban yang cukup berat sekali. Jadi unta binatang yang hebat. Tetapi kambing tidak seperti itu. Ini isyarat bahwa seorang pemimpin pada saat dia tidak lagi bisa melindungi atau menjaga orang-orang lemah dari rakyatnya, maka sesungguhnya dia telah hilang kepemimpinannya.
Oleh karena itu seorang pengembala kambing, dia akan tahu bunyi ngembeknya kambing itu berapa jenis, dia akan paham sendiri. Apakah kambingnya sedang lapar, apakah kambingnya terancam dalam bahaya, atau kambingnya menginginkan sesuatu yang lain. Pengembala kambing akan paham sekali tentang itu. Apa pesan moralnya? Seorang pemimpin akan sadar betul teriakan-teriakan rakyatnnya, makna teriakan itu seperti apa, apakah rakyatnya yang sedang kelaparan, atau menuntut sesuatu. Kalau dia memiliki sensitifitas, dia akan mengerti dengan baik.
Di sinilah kita bisa memahami kenapa Nabi Muhammad itu seolah-olah ditraining oleh Allah dengan cara mengembalakan kambing. Karena Nabi akan lahir, menjadi seorang pemimpin besar. Oleh karenanya tidaklah salah ketika para sejarawan menulis dengan kalimat yang indah itu, Min ra’yil ghanam ila ro’iyatil umam. Pemimpin yang lahir dari mengembala kambing lalu menjadi pemimpin bagi umat.
Lalu apa yang menjadi spesifik dari kepemimpinan Rasulullah. Kita bisa melihat dalam surat At-Taubah ayat 128 yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman”. Banyak ahli mengatakan tiga di dalam ayat ini menjadi kunci kepemimpinan Rasulullah. Siapapun yang ingin menjadi pemimpin maka tiga nilai ini harus ada dalam dirinya.
Yang pertama Nabi itu memiliki sense of crisis, memiliki rasa kepedulian, memahami sebuah kondisi orang-orang yang dipimpinnya. Nabi mengembangkan apa yang disebut dengan empati. Empati itu maknanya adalah mengerti keadaan orang lain, memahami orang lain. Jadi misalnya seorang pemimpin yang memiliki sense of crisis itu kalau rakyatnya tidak makan, dia tidak akan katakana “kalau ente mau makan, ente harus bekerja, ente harus seperti ini dan seterusnya”. Tapi dia akan berempati, mengapa rakyatnya tidak bisa seperti ini, apa yang menjadi masalah. Seorang pemimpin mampu mendengar suara hati yang terdalam dari orang yang dipimpinnya. Tanpa disuarakan rakyatnya pun dia akan mengerti kalau rakyatnya ini lapar, kalau rakyatnya ini tidak punya sesuatu, dan seterusnya.
Yang kedua, pemimpin itu adalah yang mendorong rakyatnya untuk berprestasi. Yang mendorong rakyatnya untuk bangkit. Yang selalu memotivasi orang yang dipimpinnya untuk berkembang. Kalau membaca buku Steven R. Covey, apakah yang pertama seven habbit, atau eight habbit, itu kita akan ketemu definisi kepemimpinan yang baru. Apa kata Covey di dalam bukunya itu? Pemimpin yang hebat hari ini pertama adalah pemimpin yang mampu menginspirasi, dia bisa mengembangkan potensi orang yang dia pimpin. Yang kedua dia membuka ruang bagi orang yang dipimpinnya untuk berkembang. Dia ciptakan kesempatan-kesempatan bagi orang yang dipimpinnya untuk berkembang. Bukan pemimpin yang mematikan kreatifitas orang yang dia pimpin. Dalam bahasa Al-Qur’an itu disebut dengan Hariishun ‘alaikum.
Dan yang terakhir, pemimpin itu seperti apa yang ada pada diri Nabi adalah Ro’uufurrohiim, orang yang memiliki kasih sayang. Saya ingin menjelaskan satu kisah sebagai penutup. Pada saat perang Uhud Nabi sudah perintahkan pasukannya agar ada pasukan yang tetap berada di bukit Uhud. Bagaimanapun kondisinya bukit Uhud harus dijaga. Pada saat peperangan berlangsung, umat Islam sudah menang. Lalu di bawah bukit Uhud para prajurit sudah sibuk membagi, merampas, melucuti harta rampasan perang pada diri musuh.
Melihat gejolak yang di bawah, tentara Islam yang di atas bukit mulai berpikir, “Kalau begini kondisinya, kita tidak dapat apa-apa. Mereka yang di bawah sajalah yang dapat harta rampasan. Kita sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun”. Akhirnya yang menjaga bukit turun kebawah untuk ikut memperebutkan harta rampasan perang itu. Akibatnya bukit Uhud kosong. Di situlah orang kafir melihat kesempatan, lalu mereka naik keatas bukit, menyerang orang Islam yang sedang sibuk bereforia memperebutkan harta rampasan perang itu. Sampai-sampai Nabi Muhammad juga korban, pamannya Hamzah juga korban dengan sangat mengenaskan.
Di situlah peristiwa perang Uhud, umat Islam kalah. Kenapa kalah? Karena orang Islam, tentara Islam pada saat itu tidak patuh pada perintah Rasulullah. Apa masalahnya? Apakah Nabi marah? Apakah Nabi ngamuk? Atau Nabi menghukum prajuritnya? Ternyata jawabannya kita temukan pada Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 159, “Karena Rahmat Allah kepadamulah Ya Muhammad, engkau Ya Muhammad bersikap lembut terhadap tentara pasukanmu yang membangkang itu. Kalau engkau keras Ya Muhammad, engkau marah, engkau mengamuk, engkau menghukum, pasukanmu akan lari, akan menjauh darimu karena kemarahanmu. Maafkan mereka, karena bisa jadi mereka belum paham. Mintakan ampun buat mereka kepada Allah. Ajaklah pasukanmu kembali bermusyawarah agar kejadian yang sama tidak terulang kembali”. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Kembali kecatatan di awal tadi, kalau Jeremie Kubicek pernah mengatakan Leadership is dead, kepemimpinan hari ini telah tewas, telah mati, tapi dalam pandangan Islam kepemimpinan itu tidak pernah padam sepanjang kita selalu bersedia menggali nilai-nilai kepemimpinan Rasulullah Saw. Demikian, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua.