Dr. Azhari Akmal Tarigan, MA.
Topik kita kali ini adalah berkaitan dengan karakter muhsinin, Ihsan sebagai syarat menjadi seorang pemimpin. Kalau kita melihat gambar masjid klasik, misalnya gambar masjid Demak. Atau yang sekarang itu masjid yang dibangun pada era orde baru, namanya masjid Amal Bakti Muslim Pancasila. Kita akan lihat masjid itu atapnya ada tiga tingkat. Dia tidak menggunakan model masjid dengan pola kubah. Ada yang mengatakan masjid pola kubah ini diinspirasikan oleh Taj Mahal. Tapi masjid-masjid di Jawa dalam rentang waktu yang lama sekali itu menggunakan pola yang atapnya itu tiga. Semakin ke atas semakin kecil. Kenapa dibuat seperti itu, ternyata itu adalah cerminan dari trilogi ajaran Ilahi, tiga ajaran dasar, Islam, Iman, Ihsan.
Ada yang mengatakannya itu adalah rukun agama, Islam, Iman, Ihsan. Jadi yang Islam itu, orangnya disebut muslim, yang lebih luas, lebih lebar, itu memang menunjukkan muslim itu banyak. Apakah orang yang muslim sudah pasti mukmin? Apakah orang yang sudah Islam pasti beriman? Kalau isyarat Al-Qur’an mengatakan tidak. Ketika orang Badui jumpa kepada Rasulullah sebagaimana diinformasikan Al-Qur’an, mereka berkata amanna, Nabi mengatakan “Kalian belum beriman, Iman belum masuk kedalam kalbu kalian. Kalian baru sebatas menjadi seorang muslim”. Berarti Iman itu di atas muslim. Nah, yang paling atas, yang paling sedikit itu Ihsan, orangnya disebut muhsin. Jadi Islam, Iman, Ihsan. Muslim, mukmin, muhsin.
Kualitas beragama yang paling tinggi itu adalah muhsin. Orang yang muhsin, orang yang Ihsan. Kalau kita menggunakan pendekatan antropologi, bisa juga kita katakan yang Islam ini kenapa lebar, itu menunjukkan Islam KTP atau Islam abangan itu jumlahnya banyak sekali. Kalau dia sholat ya sholat, kalau dia berpuasa ya berpuasa. Apakah motivasi dia sholat, apakah motivasi dia berpuasa, apakah sholatnya berpengaruh dalam kehidupannya atau tidak, itu urusan lain. Dia menjadi muslim, dia sholat, tapi dia juga masih percaya dengan kekuatan-kekuatan katakanlah supranatural, kekuatan-kekuatan mistik dan lain-lain, itu masih diyakininya. Itu yang sering sekali disebut Islam abangan. Di atasnya dengan kualitas yang sedemikian baik itu disebut dengan Islam santri. Yang keberagamaannya hampir-hampir utuh. Dia sholat, dia berpuasa, dia beribadah, itu didorong oleh rasa Iman di dalam dirinya. Nah, sedangkan Ihsan itu tidak dikaji dalam antropologi, tapi bisa kita katakan itu Islam sufistik, Islamnya para wali, Islamnya para sufi yang jumlahnya itu kecil.
Bapak ibu sekalian, apa yang ingin saya katakan, ketika kita bicara Ihsan itu sebenarnya adalah kualitas beragama yang paling tinggi, yang mustahil dicapai kalau keislamannya belum baik, kalau keimanannya belum baik. karena Ihsan itu adalah akumulasi dari keberislaman, keberimanan yang sempurna.
Contoh sederhananya begini, dia sholat wajib lima waktu sehari semalam. Kenapa dia sholat, dia takut neraka, dia takut siksa, maka dia bisa disebut muslim. Ketika dia sholat didasarkan pada kebutuhannya untuk dekat kepada Allah. Dia yakin Allah Yang Maha Hadir, Allah Yang Maha Mengawasi, Allah Yang Maha Rahman. Sehingga sholat menjadi komunikasi, berdialog dengan Allah, maka dia sebenarnya sudah menjadi mukmin. Tetapi dia masih mengerjakan yang wajib-wajib saja. Sedangkan Ihsan ini, itu naik lagi, dia tidak terjebak lagi pada persoalan apakah ini hukumnya wajib atau tidak. Karena itu dia sholat wajib, pada saat yang sama dia tidak pernah meninggalkan tahajjudnya, tidak pernah meninggalkan dhuhanya. Kalau orang bayar zakat, maka sebenarnya dia masih pada level beriman. Tetapi dia berinfaq bersedekah, dia menjadi muhsin.
Coba perhatikan bapak-ibu, ayat yang sering dibaca pada saat khatib menutup khutbahnya, Innallaaha ya’muru bil adli wal ihsan. Kalau kita buat ini dalam satu bentuk pertanyaan, mana yang lebih tinggi derajat adil atau Ihsan? Jawabnya lebih tinggi Ihsan. Apa itu adil? Adil itu memberikan orang apa yang menjadi haknya, itu adil. Kita punya pembantu, dibayar dia satu bulan satu juta lima ratus, itu kita berikan, kita disebut adil. Tapi apakah kita Ihsan, apakah kita muhsin? Tidak. Muhsin itu kalau dia mengambil sesuatu dia rela berkurang, kalau memberi dia rela berlebih.
Majikan yang muhsin bukan saja dia gaji pembantunya sesuai dengan kontrak yang disepakati. Tetapi pembantunya yang masuk kerumahnya tidak tahu sholat jadi tahu sholat. Pembantunya yang datang kerumah itu pertama kali tak tahu baca Al-Qur’an jadi tahu baca Al-Qur’an. Di manapun dia pergi, pembantunya ikut. Dia makan di restoran, pembantunya berada dalam satu meja. Dia pergi rekreasi, pembantunya bersamanya, pembantunya menjadi bagian dari keluarganya. Pada level itu dia tidak lagi menjadi sebatas orang yang adil, tapi dia sudah menjadi Ihsan. Kalau begitu Ihsan itu kualitas tertinggi.
Makanya di dalam Al-Qur’an pun kita menemukan istilah yang berbeda. Thoyyib baik, Ma’ruf baik, Al-Birr baik, Khair baik, Sholeh baik, Ihsan juga baik. Ada enam kata untuk menjelaskan satu kualitas yang disebut baik. Tapi kalau kita preteli maknanya, samakah ini? Tidak. Thoyyib itu kebaikan material. Makanya kalau kita makan, makan yang halal lagi baik, kebaikan materi. Ma’ruf, apa itu ma’ruf? ‘Uruf, itu kebaikan dengan standard norma adat, norma susila. Makanya dalam ushul fiqih ada yang namanya ‘Uruf Al-‘Aada. Baik juga, tapi standardnya ‘Uruf.
Dulu di Minangkabau waktu saya sekolah tahun 1988-1989, itu wanita minang ketika dia mengenakan pakai baju kurung, pakai rok kebawah atau kain kebawah, itu sudah ‘uruf, sudah baik. Ada orang pakai tudung rambutnya masih nampak, itu dalam terminologi ‘uruf baik. Tapi apakah itu baik menurut syariat? Tidak. Karena standard baik syariat lain lagi. Jadi khair itu kebaikan dengan ukuran syariat. Ada orang menutup rambutnya dengan kerudung atau dengan tudung bahasa kampungnya, masih nampak rambutnya, dililitnya di sini, dia pakai baju kebaya, dia sudah baik, ‘uruf, standard ‘uruf. Tapi dalam syariat itu belum sempurna, itu khair. Apa itu sholeh? Sholeh itu public good, kebaikan sosial.
Tapi coba lihat pengertian Ihsan. Apa itu Ihsan? Ihsan itu kebaikan luar dalam. Di dalam baik, di luar baik. Ihsan itu kebaikan yang memancar dari dalam jiwanya. Dalam Ihsan tidak ada basa-basi. Misalnya kita sering berkata, dalam bahasa adat, tuan rumah cukup dikatakan ramah ketika kita bertamu dan kita pulang dia katakana “Kenapa cepat sekali pulang? Minumlah sebentar, makanlah dulu”. Padahal minumannya tak keluar-keluar juga, makanannya tak keluar-keluar juga. Tapi dia berbasa-basi, dia baik, tapi itu tidak Ihsan. Karena Ihsan itu faktanya. Dia memancar dari dalamnya, Ihsan cerminan dari dalam jiwanya. Kalau kita memaknai Ihsan dalam banyak terminologi, kaitannya dengan amal, Ihsan itu Ashwabuha wa Akhlasuha. Dua syarat Ihsan, dia lakukan satu perbuatan dengan benar sesuai dengan ukurannya, dan dia melakukannya yang paling ikhlas.
Sebagai terakhir, bapak ibu sekalian keluarga besar Universitas Medan Area. Kalau kita perhatikan 16 karakter, itu kalau diperas, diungkap hanya satu kata, itulah Ihsan. Kalau dia diperas, hanya bisa dijelaskan dengan satu kata, 16 karakter itu, itulah Ihsan, kebaikan paripurna yang muncul dari dalam diri kita. Catatan terakhir, bagaimana memunculkan perilaku baik? Para ahli mengatakan, “kalau ingin dari dirimu memancar kebaikan-kebaikan, maka penuhi dirimu dengan tiga hal”. Pertama penuhi kalbumu dengan kesyukuran. Jadilah pribadi yang selalu bersyukur.
Pribadi yang bersyukur tidak akan pernah mengeluh, tapi dia menikmati, menghayati apa yang ada pada dirinya. Dia bangun subuh, dia tidak langsung turun dari tempat tidurnya, lalu dia akan berkata, mengangkat tangannya, “Ya Allah, terimakasih Ya Rabb, Engkau bangunkan aku subuh ini sehingga aku bisa melaksanakan sholat berjamaah”. Dia berkaca, bersolek, bersisir, “Ya Allah, aku bersyukur kepadaMu, Engkau anugerahkan aku mata yang masih bisa melihat. Melihat wajah isteriku, melihat wajah anakku, melihat alam sekitar”. Tidak ada dalam hidup yang tidak dia syukuri. Pribadi yang bersyukur itu akan menghargai apa yang dia punya.
Yang kedua, dia penuhi kalbunya dengan maaf. Karena kita tidak pernah bisa menginginkan dunia ini seperti yang kita inginkan. Kita tak bisa membuat isteri kita 100 % seperti yang kita inginkan. Kita tak bisa membuat anak kita 100 % yang kita inginkan. Kita juga tak bisa membuat mahasiswa kita 100 % seperti yang kita inginkan. Kita juga tak bisa membuat semua manusia berlaku baik pada diri kita. Karena itu maaf menjadi niscaya. Orang yang dipenuhi dengan maaf kalbunya tidak pernah ditumbuhi tumor-tumor ganas, virus-virus atau bakteri-bakteri yang mematikan. Kalbunya akan steril.
Yang ketiga, penuhi kalbu dengan Al-Hubb, dengan cinta terhadap sesama, cinta terhadap makhluk Allah. Kalau cinta bersemayam dalam jiwa, takkan pernah ia menyakiti seseorang. Perilaku Ihsan hanya muncul dari pribadi yang Ihsan pula. Kalau kita bertemu dengan orang-orang yang seperti ini maka sesungguhnya dialah yang pantas menjadi pemimpin itu.
Demikian, mudah-mudahan ada manfaatnya.