“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. Al-Hujurat [49]: 13).
Ketentuan Simpul Takdir
Semua kita tak pernah meminta dilahirkan dan memilih dari rahim siapa kita datang ke bumi ini. Sebagai orang yang beriman, kita yakin semua itu adalah takdir dari Allah yang Maha Arif dan Bijaksana. Allah memilih kita untuk tampil pada waktu, tempat, durasi perjalanan hidup dengan berbagai masalah dan tantangan sebelum ajal menjemput. Ketika dalam kandungan, kita telah diberikan ruh dan fitrah yang hanif. Dilengkapi dengan seperangkat fasilitas organ tubuh yang nyaris sempurna (ahsani taqwim), jasmani dan rohani anugerah-Nya menjadi potensi yang siap untuk ditumbuhkembangkan menuju insan kamil. Selain itu Allah membekali kita dengan rahmat-Nya yang luar biasa. Terutama hidayah Alquran sebagai pedoman bagi manusia untuk mampu mengabdi sebagai abid-Nya yang taat dan ikhlas. Sekaligus berperan sebagai khalifah untuk mengelola sumber daya alam dengan bijak dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat dan umat manusia menuju kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Karunia Allah berupa ruh yang terpasang pada pusat kontrol mesin tubuh yang canggih (otak) ditambah buku katalog kehidupan (Alquran) yang menjadi petunjuk ideal dan berikut contoh aplikasi operasionalnya (Rasulullah Saw), sungguh sangat sempurna. Ketiga hal tersebut harus dapat disinergikan dan kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ibarat komputer, potensi rohani adalah software, potensi jasmani hardwarenya dan wahyu dan sunnah adalah manual yang menjadi petunjuk operasionalnya. Kemampuan mengelola ketiga pontensi di atas sangat menentukan takdir nasib seseorang.
Potensi otak kiri dan otak kanan
Menurut antropobiologi, secara umum otak manusia terbagi dua. Otak kiri (Brain Science) dan otak kanan (Brain Emotion). Otak yang terdiri dari triliyunan saraf (neuron) adalah organ tubuh yang paling vital. Melalui proses gerakan-gerakan saraf di otak, kita dapat memahami, menyadari, dan merasakan pahit manisnya kehidupan dunia. Termasuk hal yang paling penting, kita menyadari jati diri sebagai sosok pribadi yang berhadapan dengan pribadi lain di tengah kehidupan sosial. Kepribadian terdiri dari tiga unsur, yaitu : unsur pemahaman (kognitif), perasaan (afektif) dan kehendak (konatif). Pada otak kiri (BS) terpusat kekuatan rasional kognitif yang berfungsi memahami segala hal yang dapat melahirkan pengetahuan dan ilmu. Pada otak kanan (BE) terpusat kekuatan perasaan (afektif) yang berfungsi memperoses segala macam perasaan seperti rasa senang susah, gembira, sedih, dan sebagainya. Pada bagian inilah proses iman dan takwa bersemi, dan dapat berkembang, atau terkulai layu dan mati, walaupun fitrah hanif telah terpasang di dalam diri kita. Pada belahan otak kanan juga terdapat pusat saraf yang berhubungan dengan kekuatan kemauan (konatif), yaitu kekuatan berkehendak untuk berbuat. Apa yang dipahami dan apa yang dirasakan saling terkait dengan kehendak yang memotivasi lahirnya suatu tindakan.
Dalam proses perjalanan hidup, kekuatan saraf otak kiri dan kanan terus berkembang kapasitasnya, seiring dengan bertambah pengalaman hidup. Tugas kita adalah bagaimana meningkatkan kemampuan kognitif di otak kiri dan memperkaya pengalaman afektif dan konatif di otak kanan secara baik, seimbang dan harmonis.
Hari demi hari hendaknya kita mampu menyelaraskan dan memformulasikan pemberdayaan fungsi kedua belahan otak ini dengan sistem pendidikan yang ideal demi mengejar ambisi dan merengkuh cita-cita.
Kebebasan memilih husnul khatimah
Sepanjang hidup, kita seharusnya menggunakan kedua belahan otak secara cerdas, rasional, dan memiliki kepekaan emosional yang memuliakan nilai kemanusiaan
Hendaknya kita mampu merentangkan otoritas daya IPTEK di otak kiri dan IMTAK (Iman dan Takwa) di otak kanan untuk menjadi khalifah bijak dan sekaligus mengintegrasikannya menjadi abid yang ikhlas beribadah. Namun perlu dicermati, kemana kita melangkah, bagaimana cara bertindak dan mengambil keputusan, semuanya terletak pada daya kemauan (konatif). Kita memilih dan merespon berdasarkan faktor internal (kecerdasan IQ dan ESQ) dan faktor eksternal yang menentukan daya motivasi dan kemauan. Berdasarkan itu kita bebas menentukan kehendak untuk berbuat dan bersikap terhadap hal apa saja, termasuk memilih sikap beriman atau kufur. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 256). Kemudian “Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Q.S. Al-Kahfi [18] : 29). Sementara itu kita harus bertanggungjawab dari konsekuensi pilihan bebas tersebut (lihat Al-Muddatsir [74] : 38).
Sebagai muslim, atas kesadaran kita telah memilih jalan Islam menuju shirathal mustaqim. Jalan dinul hanif berlandaskan iman yang menghasilkan amal saleh. Jalan yang memantaskan kita dapat meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu sepatutnya kita memantapkan diri untuk menelusuri lika-liku perjalanan hidup yang islami dengan taat, dan istiqamah, guna dapat meraih kebaikan yang sempurna. Yaitu menutup perjalanan hidup dengan sebuah persembahan husnul khatimah yang mengantar kita masuk ke surga. Inilah ambisi dan puncak perjuangan yang ingin dicapai setiap muslim. Namun, untuk meraih ambisi tersebut tidak semua orang berhasil. Kemampuan merespon dan mencerna petunjuk wahyu dan sunnah Nabi ternyata tidak sama pada setiap orang. Memilih jalan keimanan dengan penuh kemantapan di hati tidak mudah. Tantangan godaan kehidupan duniawi serta rayuan syaitan yang telah dipersiapkan Tuhan untuk menguji ketangguhan manusia, sungguh berat. Memerlukan semangat juang dan motivasi tinggi. Harus ada kehendak bebas berdasarkan keyakinan mencari ridho ilahi.
Realitanya, orang yang memilih keimanan dan ketakwaan sangat bervariasi derajatnya. Ada orang yang beriman kokoh dan tangguh. Ada yang tipis, bahkan kehilangan nuansa iman sama sekali. Variasi derajat keimanan tentunya sangat tergantung kepada faktor hidayah Allah. Juga berhubungan dengan kesadaran dan kemampuan memanfaatkan rahmat Allah berupa potensi bawaan diri yang
terpengaruh oleh kondisi lingkungan, pendidikan, sosial ekonomi, budaya, dan sebagainya. Semuanya akan berakumulasi membentuk kepribadian : Apakah menjadi orang yang berkeimanan teguh, atau labil dan rapuh. Jika pengalamannya lebih dipengaruhi nilai kehidupan yang non islami, maka dirinya akan gampang terjerat perangkap budaya kufur. Akhirnya, identitasnya terbenam dalam lumpur maksiat dan syirik sehingga yang tersisa hanya identitas Islam di KTP semata. Kalau demikian, bagaimana husnul khatimah dapat bersua, untuk melangkah pasti masuk ke surga?
Mengukir prestasi ketakwaan
Untuk dapat merebut husnul khatimah yang menjadi ambisi setiap muslim, kita harus setiap saat memperkokoh keimanan dan menjauhi maksiat. Caranya, melaksanakan berbagai kegiatan ibadah yang disyariatkan Allah. Ibadah adalah institusi yang meneguhkan iman. Ibadah dapat memproses diri kita menjadi muttaqin sejati. Segala macam ibadah seperti shalat, puasa, zakat, infaq, haji, do’a, zikir, dan tadabbur Alquran, dapat menyucikan kalbu kita menjadi orang yang bersih hati. Mudah meraih ketenangan batin, dan kebahagiaan hidup, sebagaimana firman Allah “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah lah hati menjadi tenteram” (Q.S. Ar Ra’d [13 ] : 28 ). Ketika datang saat ajal menjemput, Allah menyambut kepulangan kita dengan sambutan mesra : “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbimu dengan hati yang puas, lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku” (Q.S. Al-Fajr [89] : 27-30).
Inilah bentuk husnul khatimah yang ditakdirkan Allah kepada hamba-Nya yang telah setia mengukir prestasi ketakwaan melalui berbagai ibadah yang dilaksanakan setiap hari. Oleh karena itu marilah kita bergegas dan tekun mengukir prestasi. Sebab, kita bernilai disisi Allah, bukan karena jenis kelamin, suku, kelompok, jabatan, titel dan kepangkatan. Tapi yang menjadi tolok ukur adalah karena prestasi nilai ketakwaan yang terpancar dari pesona karakter kepribadian yang luhur.
Semoga Allah selalu memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada kita. Amin.
Mari kita berjamaah, mengukir derajat ketakwaan di Masjid Taqwa Universitas Medan Area.
Ketua PI-UMA
Ismet Junus, LMP. SDE